Renungan Mengenai Esensi Pendidikan

Renungan Mengenai Esensi Pendidikan


“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” (Nelson Mandela)

Pada tanggal 2 mei 2012, Negara kita tergabung bersama ke dalam suatu selebrasi, yakni selebrasi akan keberadaan sesuatu yang secara konstitusional dikatakan sebagai salah satu dari Hak Asasi Manusia, yakni “Pendidikan”. Ya, benar, pada hari Selasa tanggal 2 Mei 2012 ini, kita semua secara bersama-sama merayakan Hari Pendidikan Nasional, atau apa yang sering disingkat menjadi “HarDikNas”.

Sebuah selebrasi yang meriah, karena tak dapat dipungkiri hampir setiap individu pasti pernah mengenyam proses pendidikan, baik formal maupun non-formal dan informal. Apalagi bila kita menempatkan pendidikan pada artian yang lebih umum, di mana merujuk pada suatu proses sosialisasi nilai dan pembelajaran. Pendidikan adalah suatu hal yang begitu dekat dengan kita. Namun, apakah kita semua telah benar-benar memaknai esensi dari pendidikan itu sendiri?

Sosiolog Emilie Durkheim, dengan perspektif fungsionalnya melihat bahwa pendidikan memiliki fungsi untuk mentransmisikan nilai dan norma ke dalam diri individu sehingga masyarakat tersebut bisa bertahan. Hasil dari penyelenggaran pendidikan dalam hal ini adalah Keteraturan Sosial. Pemahaman akan pendidikan yang seperti inilah yang pada akhirnya membentuk suatu sistem pendidikan yang cenderung kaku, yang selama puluhan tahun dilaksanakan oleh institusi-institusi pendidikan di seluruh dunia.

Berbeda dari Durkheim yang merupakan seorang fungsionalis, Peter L. Berger sebagai seorang konstruktivis melihat pendidikan merupakan suatu bagian dari proses sosialisasi. Selebihnya, proses tersebut merupakan bagian dari apa yang disebut Berger sebagai konstruksi sosial.

Berbeda dengan Durkheim yang melihat bahwa pendidikan sebagai sarana dalam membentuk keteraturan sosial, Berger melihat bahwa pendidikan merupakan cara dalam mensosialisasikan atau menginternalisasikan nilai-nilai yang perlu disampaikan kepada individu tanpa harus melupakan hakekat individu yang berkehendak bebas. Seorang individu dapat menerima serta menyaring apa yang ia dapatkan melalui proses sosialisasi sesuai dengan hakekat dirinya, yang pada akhirnya merupakan partisipan aktif dalam membentuk nilai-nilai obyektif di masyarakat.

Perspektif konstruktivis ini melihat pendidikan sebagai model yang tidak terlalu kaku seperti perspektif fungsionalis. Pendidikan memang ada sebagai suatu proses penanaman nilai-nilai, namun tidak mengharuskan seorang individu membuang hakekat dirinya demi suatu kolektivitas yang kaku. Pemikiran yang demikian semakin berkembang dengan adanya tokoh seperti Paulo Freire yang banyak memberikan kritikan pada sistem pendidikan di era modern. Freire, yang berasal dari Brasil melihat bahwa pendidikan di daerah asalnya tidak memihak pada mereka yang tertindas, melainkan menjadi “alat penindas” yang mengeksklusi mereka. Pada konteks Negara Brasil pada masa hidup Freire, pendidikan dirasa tidak memihak kaum miskin yang pada masa itu memiliki jumlah yang signifikan.

Apa yang terjadi pada masyarakat Brasil pada masa hidup Freire tentunya menjadi hal yang juga banyak dirasakan oleh masyarakat secara global. Pendidikan, di luar dari peranannya sebagai sarana sosialisasi yang sifatnya luas hanya dapat melebarkan sayapnya bagi kalangan tertentu saja, yakni mereka yang memiliki modal sosial, kultural, dan ekonomi yang memungkinkan mereka untuk dapat memperoleh pendidikan.

Dengan berdasarkan pada latar belakang tersebut, Freire akhirnya menekankan bahwa pendidikan seharusnya merupakan “a practice of freedom” atau praktek pembebasan, di mana secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan dapat memberikan nilai-nilai yang membebaskan menusia dari belenggu ketidakadilan. Freire melihat bahwa pada kenyataannya, pendidikan seringkali justru menjadi alat penindas baru, dan hal inilah yang dengan tegas dikritik oleh Freire.

Selebihnya, Freire juga menjadi salah satu pionir dalam mengembangkan Pedagogi Kritis (Critical Pedagogy). Dalam pemikirannya mengenai pedagogi kritis, Freire menambahkan bahwa pedagogi (yang secara sederhana biasa kita definisikan sebagai metode maupun praktek belajar mengajar) bukan semata-mata sebagai metode yang diberikan secara merata kepada seluruh siswa/I, namun merupakan praktek politik dan moral yang memberikan pengetahuan, keterampilan, serta relasi sosial yang dibutuhkan seorang manusia dalam menjalani perannya sebagai warga negara. Singkatnya, Melalui pendidikan, individu belajar untuk menjadi partisipan yang aktif dan kritis dalam praktek demokrasi dan kewarganegaraan pada umumnya.

Berangkat dari pemikiran Freire yang demikian, maka kita semua pun harus dapat melihat pendidikan secara multi-dimensional. Pendidikan harus dapat menanamkan nilai-nilai keterbukaan, toleransi, dan pluralisme. Khususnya apabila pendidikan tersebut diselenggarakan pada konteks negara demokrasi. Alhasil, kebebasan yang dimaksudkan oleh Freire sendiri bukanlah suatu kebebasan yang sembarangan dan tanpa arah. Kebebasan yang perlu dikedepankan dalam pendidikan adalah suatu kebebasan yang bertanggung jawab, di mana hakekat seorang manusia yang memiliki status dan peran secara sosial, dan merupakan bagian dari suatu negara demokrasi juga perlu dikedepankan.

Pertanyaan selanjutnya yang kemudian bermunculan mengarah pada keluwesan dari pendidikan itu sendiri. Karena apabila pendidikan memang memiliki peranan besar dalam proses demokrasi dan kewarganeraan, pada prakteknya pendidikan cenderung menjadi bersifat kaku, bahkan birokratis dan apabila mengutip Freire, “membelenggu manusia”. Dalam hal ini, kita semua dapat menghela nafas lega, karena seyogyanya pendidikan pun tidak dapat kaku dan menekan, karena nilai-nilai dari demokrasi dan kebebasan yang bertanggung jawab sendiri tidaklah kaku dan menekan.

Pendidikan yang baik harus dapat membuahkan integrasi atau persatuan bagi Bangsa dan Negara, tanpa melupakan indentifikasi individu di dalamnya. Individu yang terlibat dalam praktek pendidikan harus tetap dapat mengekspresikan identitas diri, talenta, wacana, serta segala aspirasi yang menunjukkan diri mereka sebagai individu yang kritis dan memang memiliki kapabilitas untuk secara aktif terlibat dalam praktek demokrasi yang bersifat transformatif dan progresif. Identifikasi individu merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan. Karena tanpa adanya identifikasi individu, proses pengembangan pribadi tidak dapat berjalan. Selanjutnya, tanpa adanya proses pengembangan pribadi yang baik, inovasi-inovasi yang dapat membangun bangsa akan mengalami stagnansi.

Maka dari itulah, mengingat pentingnya pendidikan bagi keberlangsungan Bangsa dan Negara, penyelenggaraan pendidikan yang baik dalam suatu Negara pun membutuhkan kerjasama yang sinergis antara stakeholder-stakeholder yang ada di masyarakat. Kemajuan berbagai sektor yang ada di masyarakat, mulai dari sosial, budaya, ekonomi, teknologi, dan lain-lain tergantung dari penyelenggaraan pendidikan yang baik.

Walaupun begitu, patut diingat pula bahwa pendidikan sendiri merupakan hak serta sarana pengembangan manusia, dan bukan semata-mata alat untuk menghasilkan faktor produksi baru bagi pasar. Ketika pendidikan cenderung dikedepankan pada pencetakan individu-individu yang dapat menjadi faktor-faktor produksi baru, pendidikan sama saja dengan dijadikan alat oleh sistem kapitalistik untuk menindas masyakarat. Hal ini juga tidak sesuai dengan harapan kita semua akan pendidikan  yang memiliki potensi dalam memunculkan inovasi-inovasi baru. Karena sesuai dengan kutipan dari tokoh revolusi Afrika Selatan Nelson Mandela yang disertakan pada bagian awal tulisan ini, pendidikan memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Tentunya, apabila proses pedagogi yang ada di dalam pendidikan benar-benar dapat diselenggarakan dengan tepat.

Akhir kata, sesuai dengan harapan yang kita semua miliki terkait dengan pendidikan di era modern, saya hanya berharap supaya bagaimanapun wajah pendidikan di Indonesia sekarang, hal tersebut akan terus berproses menuju arah yang lebih baik. Pendidikan yang transformatif dan progresif, di mana dapat menyesuaikan diri dengan konteks perubahan sosial menjadi kunci suksesnya penyelenggaraan pendidikan. Kerjasama yang sinergis dari seluruh elemen masyarakat atau stakeholder menjadi kuncinya. Tentu saja, ditambah pula dengan keberadaan pendidik-pendidik dengan kepekaan sosial, integritas, serta daya transformasi dan progresifitas yang tinggi. Sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan oleh penulis terkemuka  C.S. Lewis, “The task of the modern educators is not to cut down jungles, but to irrigate deserts.”

Oleh: Chikita Rosemarie



0 komentar:

Posting Komentar