Korupsi Tak Memandang Gender

Korupsi Tak Memandang Gender


Laksana air yang terus mengalir, korupsi telah merasuki Indonesia di berbagai sektor kehidupan. Hampir di sebagian besar elemen masyarakat, tindakan korupsi merajalela. Tidak terkecuali kaum perempuan, yang selama ini dipandang sebagai sosok yang lemah lembut, tidak agresif dan lebih malu dan 'sungkan' untuk melakukan korupsi.

Pandangan ini seolah terciderai oleh beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh perempuan-perempuan. Kasus Nunun Nurbaeti, Miranda Goeltom, dan Angelina Sondakh seakan memberikan sinyalemen bahwa perempuan ternyata dapat menjadi pelaku kejahatan korupsi. Nunun Nurbaeti yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI), memperlihatkan bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan bantuan korupsi.

Kasus ini bahkan telah melibatkan banyak anggota dewan, dimana menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdapat aliran 480 lembar cek pelawat ke 41 dari 56 anggota Komisi XI DPR Periode 2004-2009 dari Arie Malangjudo, seorang asisten Nunun Nurbaeti. Kasus Nunun tidak berhenti sampai di situ.

Kasus ini juga sudah dipastikan menyeret Deputi Gubernur senior Bank Indonesia (DGS-BI) terpilih, Miranda Swaray Goeltom. Terpilihnya Miranda sebagai DGS-BI disinyalir menjadi asal mula korupsi yang dilakukan oleh Nunun Nurbaeti. Kasus yang tidak kalah fenomenal adalah kasus dugaan korupsi Angelina Sondakh yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang.

Ketiga kasus korupsi ini memperlihatkan bahwa korupsi ternyata tidak mengenal gender. Walaupun jumlah perempuan koruptor di Indonesia tidak sebanyak laki-laki (jika dilihat dari jumlah keanggotaan di DPR), namun perempuan juga manusia yang punya peluang untuk melakukan tindakan korupsi. Lantas, apa yang menyebabkan korupsi dapat terjadi? Korupsi dapat terjadi karena tiga hal, yakni karena terpaksa (corruption by system), dipaksa (corruption by need), dan memaksa (corruption by greedy).

Salah satu bentuk nyata korupsi karena terpaksa (corruption by system) adalah adanya uang pelicin dalam setiap pelayanan yang diberikan, utamanya adalah pelayanan publik. Kebiasaan memberi uang pelicin ini seolah menjadi suatu tradisi yang telah mengakar di masyarakat. Jika korupsi karena terpaksa (corruption by system) terjadi pada kalangan pengguna layanan, maka korupsi karena dipaksa (corruption by need) umumnya dilakukan oleh kalangan pemberi layanan (birokrat) atau lapisan kerah putih rendah (lower white collar).

Gaji birokrat yang rendah mengarahkan birokrat tersebut untuk menjalankan tindak korupsi untuk memenuhi kehidupannya, terutama jika tersedianya kesempatan yang besar. Indonesia hingga saat ini disinyalir banyak memberikan peluang bagi para koruptor untuk menjalankan aksinya, baik dari sistem maupun kebijakan.

Aksi korupsi juga tidak hanya menimpa kalangan bawah, namun juga kalangan mapan yang diidentikasikan sebagai pegawai tinggi. Di sini yang terjadi adalah korupsi karena keserakahan (corruption by greedy). Ironisnya, korupsi karena keserakahan terkadang menjadi pembenaran moral bagi pelaku korupsi karena dipaksa (corruption by need), yang jika dibiasakan maka akan memacu korupsi karena keserakahan (corruption by greedy). Bagaimana dengan perempuan itu sendiri?

Sebelumnya perlu diperhatikan beberapa teori penyebab korupsi, yakni teori Vroom, teori Kebutuhan Maslow, teori Kliitgard dan Ramirez Torres, serta teori GONE oleh Jack Bologne. Teori Vroom memperlihatkan motivasi seseorang tergantung pada harapan (expectation) dan nilai (value) personal. Jika seseorang memiliki harapan untuk menjadi kaya, maka ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Jika memiliki nilai positif, maka seseorang tersebut akan melakukan usaha yang tidak melanggar hukum untuk mendapatkannya kemakmuran.

Namun jika memiliki nilai negatif, maka seseorang tersebut akan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Dengan kata lain, motivasi seseorang akan dapat memengaruhi seseorang untuk berbuat korupsi.

Adapun teori Kebutuhan Maslow menggambarkan hirarki kebutuhan. Tidak dapat disangkal bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan masing-masing yang harus dipenuhi. Perbedaannya adalah bagaimana cara seseorang memenuhi kebutuhannya.

Teori Klitgaard dan Ramirez Torres menjelaskan bahwa korupsi mengikuti kekuasaan. Adanya monopoli kekuatan dan tingginya kekuasaan diikuti dengan pengawasan yang minim akan membuka peluang yang besar terhadap tindakan korupsi.

Klitgaard dan Torres juga menjelaskan bahwa korupsi tidak hanya didasarkan pada keinginan, namun juga karena telah memperkirakan bahwa hasil yang didapatkan akan lebih besar dari hukuman dan kecilnya kemungkinan untuk tertangkap.

Hal ini diperkuat dengan teori Jack Bologne (GONE) yang menyatakan bahwa korupsi dapat disebabkan oleh Greed, yang terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Opportunity, adanya peluang untuk melakukan korupsi. Need, adanya mental tidak pernah puas dengan apa yang ada. Exposes, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain (www.kpk.go.id).

Keempat teori di atas memperlihatkan bahwa motivasi, kebutuhan, kekuasaan, peluang, serta hukuman tak seberapa menjadi alasan utama para pelaku korupsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan, jika memiliki motivasi untuk mendapatkan kekayaan, kebutuhan yang tidak pernah terpuaskan, monopoli kekuasaan, peluang korupsi yang besar dan minimnya hukuman, maka tindakan korupsi pasti akan dilakukan.

Sayangnya, penyebab korupsi di atas seakan diberikan ruang yang besar di Indonesia. KPK bahkan menyebut wabah korupsi sudah semakin sistemik dan brutal. Hal ini mengimplikasikan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan dan berada pada titik nadir. Lokus korupsi pun sudah menyebar di berbagai lini.

Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa korupsi di Indonesia terjadi dalam tiga lokus utama yaitu politik, birokrasi dan hukum. Di ketiga lokus tersebut korupsi tidak bersifat mandiri, namun saling menopang satu sama lain. Maka tidaklah mengherankan jika kasus korupsi sulit untuk diberantas karena adanya keterlibatan dari elemen di politik, birokrasi dan penegakan hukum itu sendiri. Contohnya adalah kasus dugaan korupsi yang melibatkan Angelina Sondakh sebagai anggota parlemen Indonesia.

Dengan kata lain, telah terjadi korupsi yang terlembaga melalui organ-organ negara. Hal ini diperparah dengan ruang lingkup korupsi yang semakin meluas. Korupsi tidak hanya berada dalam level bawah (street level corruption), namun juga middle level (pengadaan barang), dan highest level (corruption by policy).

Kasus korupsi Artalyta Suryani, Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Miranda S. Goeltom Hal ini memperlihatkan bahwa lemahnya sistem (yang menjadikan adanya corruption by policy) memengaruhi terbentuknya korupsi pada level menengah (misalnya korupsi wisma atlet) dan level bawah (misalnya uang pelican).

Di negara berkembang, korupsi juga seringkali dianggap fungsional. Anggapan ini menyebabkan para pelaku korupsi fungsional tidak menganggap dirinya melakukan tindakan kejahatan karena merasa dirinya tidak bersalah secara individual dan hanya korban dari sistem yang ada.

Korupsi tidak lagi dipandang sebagai aib, namun merupakan risiko pekerjaan. Ironisnya, terdapat anggapan bahwa pembangunan dapat berjalan karena adanya korupsi.

Dengan kata lain, korupsi merupakan insentif pembangunan. Pandangan ini jelas sangat keliru, namun begitulah pola pikir yang tersebar di masyarakat. Lantas, bagaimana cara kita memberantas korupsi? Korupsi pada dasarnya dapat diberantas dengan dua cara, yakni dengan preventif dan dengan cara represif.

Pemberantasan dengan cara preventif dapat dilakukan dengan melakukan pembenahan birokrasi, reformasi birokrasi yang menyeluruh dan berkesinambungan.

Sedangkan pemberantasan korupsi dengan cara represif membutuhkan kerjasama aparat hukum yang tidak hanya berkualitas dalam kapasitas keilmuan, namun juga memiliki integritas moral yang terjaga.

Perempuan bahkan memiliki potensi dan peran besar dalam pemberantasan korupsi, baik dari level tinggi hingga level terkecil seperti keluarga.

Dalam level tinggi, perempuan yang memiliki posisi strategis dapat melaksanakan menyuarakan pendapat, komitmen dan terobosan-terobosan untuk membersihkan praktik korupsi.

Sedangkan dalam level terkecil seperti keluarga, peran perempuan sebagai seorang ibu menjadi aktor penting dalam pembentukan karakter seorang anak yang salah satunya karakter antikorupsi.

Pada akhirnya, korupsi memang tidak mengenal gender. Perempuan dapat menjadi pelaku korupsi jika memiliki kesempatan dan peluang yang sama dengan laki-laki.

Perjuangan posisi perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dengan kaum laki-laki di satu sisi bisa menjadi faktor tumbuhnya korupsi, namun di sisi lain bisa menjadi tameng dan senjata dalam pemberantasan korupsi. Maka pilihan mana yang diambil oleh para perempuan Indonesia inilah yang menentukan subur tidaknya korupsi di Indonesia.

Selamat hari kartini perempuan Indonesia, marilah kita bersama-sama memberantas korupsi sebagai modal awal pembangunan Indonesia bersih dan melayani, demi kesejahteraan rakyat. Indonesia bersih ada ditanganmu kini!.

oleh: Dewi Aryani, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan


http://www.pedomannews.com/umum/12494-korupsi-tak-kenal-gender

0 komentar:

Posting Komentar