Mari Menyebarkan Salam

Mari Menyebarkan Salam


Setiap hari kita mengucapkan kalimat basmalah dan salam. Tidak terhitung jumlahnya. Pertanyaannya, apakah betul salam tadi keluar dari hati dan pikiran yang penuh dengan salam dan damai. Ibarat hati itu bagaikan cawan atau mangkok, tidak akan mengalirkan vibrasi damai jika isinya tidak dipenuhi dengan rasa dan energi damai. Jika ini yang terjadi, sekalipun setiap hari kita mengucapkan basmalah dan mengucapkan salam, yang menerima juga tak akan merasakan getaran damai yang keluar dari lisan kita karena hati kita memang kosong dari energi damai.

Ketika seorang mukmin berdzikir pada Allah dan melaksanakan ibadah puasa, sesungguhnya tengah berupaya untuk menghubungkan hati dan pikiran agar tersambung dengan Allah yang maha kasih dan sayang, sehingga dia menjadi agen atau transmitter energy kasih ilahi untuk diteruskan pada sesama manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, ucapan dzikir tidak menjamin seseorang berdzikir jika hati dan pikirannya tidak menjadi subyek yang aktif yang berdzikir. Orang yang dengan kencang mengucapkan salam dengan alat bantu pengeras suara tidak akan mendatangkan salam jika dilakukan dengan salah dan tidak keluar dari hati terdalam.

Islam yang mengajarkan salam dan kasih sayang tidak berarti lemah, karena pada saat-saat tertentu Islam juga mengajarkan sikap tegas. Ibarat seorang dokter yang melakukan amputasi atau operasi terhadap pasien tidak berarti dia bertindak kejam, melainkan bersikap tegas karena didorong kasih sayang terhadap pasiennya agar penyakitnya tidak menular. Demikianlah, pada dasarnya Islam mengajarkan persaudaraan, kasih sayang dan perdamaian terhadap sesama saudara sebagai-sama hamba Allah, namun mesti bersikap tegas pada siapapun yang merusak ketenteraman sosial dan martabat manusia. Itulah sebabnya Islam sangat sejalan dan mendukung penegakan hukum secara adil dan tegas terhadap koruptor karena apa yang dilakukan merusak kesehatan tubuh masyarakat.

Kalaupun dalam sejarahnya Rasulullah terlibat sekian banyak peperangan, itu sama sekali salah jika diartikan Nabi Muhammad mencintai peperangan. Itu terpaksa dilakukan sebagai upaya pembelaan diri dan menjaga benih ajaran Islam yang masih sangat baru dan dihadang berbagai musuh yang hendak menghancurkannnya. Dengan terpaksa musuh-musuh itu mesti dihadapi dengan perang dan pertumpahan darah. Namun Islam sendiri sangat tidak mengannjurkan kekerasan, melainkan justeru menyuruh menegakkan persaudaraan dan perdamaian.

Fenomena ini sesungguhnya mirip dengan sejarah perjuangan berdirinya Republik Indonesia. Dulu pihak penjajah menghalangi jangan sampai bangsa ini merdeka. Maka tampilah para pejuang dengan melakukan perlawanan bersenjata. Terjadi konflik bersenjata di mana-mana. Namun satu hal yang pasti, republik ini didirikan bukan sebagai institusi mesin perang. Perang terpaksa dilakukan untuk menjaga diri ketika terdapat agressi dari luar. Bahkan sebisa mungkin berbagai konflik yang mungkin terjadi bisa diselesaikan dengan jalan diplomasi damai.

Begitupun halnya dengan semangat ajaran Islam. Hanya saja ketika identitas dan agenda umat Islam terkait dengan perjuangan etnis atau kelompok kepentingan yang kebetulan beragama Islam, tak bisa dielakkan konflik dan perang bernuansa agama akan muncul. Jadi, kalau saja konflik itu terjadi di India, maka yang akan muncul tentu nuansa agama Hindu. Kalau di Eropa, nuansa agama Kristen juga akan terbawa. Demikianlah seterusnya, faktor demografis akan selalu menyertai dinamika keagamaan.        

Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.


http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2012/09/27/288/Mari-Menyebarkan-Salam

0 komentar:

Posting Komentar