Menabur Reformasi Menuai Korupsi

Menabur Reformasi Menuai Korupsi


Mengamati secara sepintas fenomena korupsi dalam era reformasi dan pra-reformasi tampaknya bagi kita sama saja. Reformasi belum mampu melahirkan etos pelayanan publik yang bersih dan gerakan anti-korupsi secara massif. Bahkan, ada tendensi bahwa di masa reformasi korupsi justru kian mengganas bagaikan virus yang menggerogoti tubuh.

Kalau bagian tubuh yang diserang virus itu hanya permukaan kulit saja, mungkin tidak terlalu masalah karena kita hanya membutuhkan salep untuk mengobatinya. Tapi ternyata hati dan jantung pun tidak luput dari serangan virus yang berbahaya itu. Lembaga-lembaga terhormat di negeri ini yang merupakan hati dan jantung bangsa telah pula digerogoti virus korupsi.

Secara teoritis, penanggulangan korupsi yang sudah menyerang hati dan jantung hanya bisa dilakukan dengan cara transplantasi. Namun secara praktiknya hal itu tidak mudah. Kita harus menunggu periode pergantian komposisi lembaga-lembaga pemerintahan dan parlemen lima tahunan secara demokratis melalui pemilu. Padahal, masa lima tahun sudah cukup untuk membuat virus-virus berkembang biak. Lebih gawat lagi jika virus itu sudah bercokol di urat nadi sistem birokrasi kita. Sebab, bukan saja tidak mudah untuk memberantasnya, malahan juga bisa menyerang siapa saja yang masuk atau berada di dalam sistem itu.

Namun begitu harus diakui bahwa sistem demokrasi tetap yang terbaik untuk melawan korupsi dibanding dengan sistem pemerintahan tertutup atau otoritarian. Demokrasi membuka kesempatan untuk pergantian komposisi lembaga-lembaga pemerintahan dan parlemen. Personalia lembaga-lembaga yang berkinerja buruk bisa diganti oleh masyarakat dengan cara tidak memilihnya kembali dalam pemilu. Sementara itu dalam sistem otoritarian, perilaku dan kinerja politik dalam bentuk apapun akan terawetkan karena memang tidak ada pintu politik untuk perubahan. Berbagai perubahan hanya terjadi jika dikehendaki oleh sang penguasa otoriter, dan tentu saja bentuk-bentuk perubahan itu sesuai dengan kehendak dirinya.

Dalam sistem otoriter, fenomena korupsi bersifat inheren atau melekat pada dirinya. Bahkan otoritarianisme sendiri merupakan bentuk korupsi, yaitu korupsi kekuasaan. Sebab, kekuasaan seharusnya didistribusikan kepada warga sebagai pemilik sejatinya. Bahaya korupsi dalam sistem otoritarian adalah karena ia tidak bisa dicegah dan tak terkontrol. Dalam sistem demokrasi pun korupsi berbahaya, tapi relatif bisa dikontrol dan sebenarnya juga bisa dicegah.

Yang menjadi persoalan adalah, kenapa dalam sistem demokrasi sekarang ini kita melihat korupsi bisa terjadi, bahkan cenderung merajalela? Apakah ketika kekuasaan terdistribusikan secara merata—dalam sistem demokrasi—(peluang) korupsi juga terdistribusikan secara merata? Tampaknya jawabannya positif. Terutama ketika kekuasaan itu disalahgunakan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga Transparansi Internasional beberapa tahun lalu menyebutkan bahwa ada korelasi antara perilaku korupsi dengan penyalahgunaan kekuasaan. Survei menyebutkan bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga yang paling tinggi tingkat inisiatifnya dalam praktik korupsi. Bukan hanya lembaga peradilan, korupsi telah menjadi gejala yang meluas di semua sektor publik, dan lembaga-lembaga vertikal lain seperti polisi, pajak, imigrasi, bea cukai, militer, departemen, dan lain-lain.

Jadi, dalam masalah korupsi, apa bedanya situasi sekarang dengan masa pra-reformasi? Saya membedakan praktik korupsi yang berbasis pada budaya otoritarian dengan praktik korupsi dalam budaya demokrasi. Dalam budaya otoritarian, korupsi memperoleh dorongan sangat kuat sebagai konsekuensi dari ketertutupan sistem, bahkan korupsi berakar dan berpusat pada sistem itu sendiri (system-centered). Budaya otoritarian yang tidak memungkinkan lahirnya kontrol menyebabkan matinya pers bebas. Akibatnya, praktik korupsi cenderung sulit diteropong, dikontrol, apalagi diberantas.

Sementara itu dalam budaya demokrasi, sifat korupsi mengikuti sifat kekuasaan demokratis, yaitu tersebar. Di sini tidak ada lagi “pusat korupsi”, melainkan unit-unit kecil yang menyebar sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Tidak ada lagi “koruptor agung” yang duduk di ibu kota negara, sebab di daerah-daerah pun setiap orang punya kesempatan yang sama untuk korupsi. Dalam hal ini, korupsi bukan lagi imperatif sistem melainkan upaya dan kreativitas individu (man centered). Inilah yang menjelaskan kenapa akhir-akhir ini kita melihat banyak pejabat di daerah tersangkut kasus korupsi.

Kendati sifat korupsi saat ini tersebar dan lebih banyak kesempatan untuk melakukannya, namun dalam sistem demokrasi tersedia lebih banyak alat kontrol untuk mencegah praktik korupsi, yaitu pers bebas. Kebebasan pers yang kita miliki sekarang sebagai buah reformasi masih bisa diandalkan untuk mengawasi kinerja lembaga dan pejabat publik. Pers sangat berjasa dalam menginvestigasi dan mempublikasikan kasus-kasus korupsi—sesuatu yang sulit dibayangkan bisa terjadi di masa lalu.

Selain pers bebas, tentu saja kita juga harus mengakui bahwa pemerintah kita saat ini memiliki political will dan semangat yang tinggi untuk memberantas korupsi. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditangkapnya sejumlah elit dalam kasus korupsi, memperlihatkan hal itu. Pemerintah kita punya keinginan untuk mewujudkan clean government dan good governance. Masyarakat pun diimbau partisipasinya untuk aktif dalam melaporkan praktik-praktik korupsi dalam berbagai bentuknya yang dilakukan pejabat publik. Pendeknya, dalam sistem demokrasi kita memiliki semuanya untuk mencegah, menghentikan, dan mengubur dalam-dalam budaya dan praktik korupsi.

Jika dalam kondisi seperti ini ternyata masih saja ada orang yang korupsi, mungkin kita harus meminjam penjelasan seorang ustadz di masjid. Korupsi, katanya, bukan soal sistem atau budaya melainkan soal moral. Maksudnya, moral yang serakah, yaitu dorongan untuk memperkaya diri secara membabi buta. Orang seperti ini tidak mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan untuk memuaskan nafsunya.

Lalu, apa hukuman orang seperti ini? Kata ustadz, orang yang memakan harta orang lain secara tidak sah maka di akhirat nanti Tuhan akan menaruh tungku api yang menyala-nyala dalam tubuhnya. Api itu akan membakar seluruh tubuhnya dari dalam. Itu hukuman di akhirat, sedangkan hukuman di dunia, kata ustadz, orang yang memakan uang haram maka setiap sel yang ada di tubuhnya adalah tempat bersemayam setan-setan. Maka para koruptor tidak akan pernah menjadi baik sampai akhir hayatnya karena semua gerak tubuhnya, langkah kakinya, rasa hatinya, dan isi pikirannya, digerakkan oleh setan-setan yang bersemayam dalam sel-sel tubuhnya. Sungguh mengerikan penjelasan ustadz ini, bukan?

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.


http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2012/06/05/266/Menabur-Reformasi-Menuai-Korupsi?

0 komentar:

Posting Komentar