Cara Berpolitik Perempuan Lebih Elegan

Cara Berpolitik Perempuan Lebih Elegan


Dunia politik menjadi tantangan tersendiri bagi Venna Melinda. Bagaimana tidak, publik terlanjur menyematkan label selebriti di dirinya: mantan Puteri Indonesia, pesinetron--plus pemilik sanggar tari Salsa yang kini sudah ditutup. Praktis, Venna harus menjejali dirinya dengan pengetahuan politik dan tetek bengek parlemen, serta menunjukkan kapasitasnya, agar tak dicap sekedar 'pemanis' dalam formasi anggota DPR RI periode 2009-2014.

"Bukan bermaksud mengecilkan hati saya. Saya kenyang makan cibiran, ada yang bilang cuma makan gaji buta, Venna cuma tahu model sepatu, atau sekedar pemanis di parlemen," ujar perempuan di Surabaya, 20 Juli 1972 ini. Toh, ucapan tak sedap tersebut tak menyurutkan tekadnya berkiprah di DPR. "Menarik berjuang di politik, karena lebih spesifik, lebih efektif memperjuangkan perempuan," tambah anggota Fraksi Partai Demokrat ini.

Nah, terkait dengan peran perempuan dan upayanya memperjuangkan masalah-masalah menyangkut perempuan, Venna, yang awalnya duduk di Komisi X kemudian pindah ke Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri dan informasi, berkesempatan menjelaskan secara gamblang kepada Jaringnews.com saat ditemui di Balai Kartini, Jumat (20/4) lalu. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat tren peranan wanita dewasa ini?
Di DPR, kuota 30 persen untuk perempuan masih hanya terpenuhi sebesar 18 persen. Di eksekutif masih harus terus harus dipacu, apalagi yudikatif. Dari segi intelektualitas, perempuan itu mumpuni, tapi dari segi mentality masih kurang. Masuk tiga bidang tadi, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif memerlukan mental ekstra, beda dengan profesi lain seperti pilot perempuan, tentara perempuan yang sudah mulai mem-booming.

Apa yang mendorong perempuan sudah mulai bekerja dan meniti karir? Kesetaraan gender atau faktor ekonomi semata?
Bisa dua-duanya. Tak sedikit juga perempuan yang kepepet ekonominya tapi tidak mau bekerja. Budaya patriarki masih menjadi penghambat. Tapi Komisi VIII sudah menyusun RUU Pengharusutamaan Gender. Mudah-mudahan sosialisasi RUU dan bila sudah jadi UU, perempuan Indonesia lebih termotivasi. Mengapa saya mention perempuan di bidang legislatif, ekskutif dan yudikatif? Karena penting sekali. Kalau tidak ada warna perempuan di sektor itu, pembangunan untuk isu perempuan sedikit lambat, karena perempuan yang paling mengetahui apa yang menjadi masalahnya sendiri, semisal kematian ibu setelah melahirkan tinggi, buta aksara yang masih didominasi perempuan dan sebagainya. Akan susah mengejar target jika tidak ada pos perempuan di tiga sektor tadi, khususnya di parlemen, yang punya tiga fungsi, yaitu legislasi, pengawasan dan budgeting.

Selama di parlemen, apakah suara-suara perempuan diakomodir?
Sangat. Tergantung dari perempuannya, niatnya apa masuk parlemen. Kalau seratus persen fight pasti memberikan warna dan kontribusi. Dengan tiga fungsi parlemen tadi, perempuan ideal untuk berjuang di sini.

Banyak perempuan hanya berani mencalonkan orang lain, tidak berani mencalonkan diri sendiri. Perempuan masih pasif, Indonesia akan lebih dinamis untuk urusan gender bila perempuan mau mencalonkan diri, membuat suatu motivasi tersendiri, agar perempuan tidak buta politik dan pendidikan politik lancar. Perempuan memberi warna lain, cara bepolitik perempuan lebih elegan, lebih lain. Suatu hal yang membuat anggapan politik tak melulu sadis dan menyeramkan.

Sempat punya pengalaman tak mengenakkan selama duduk di parlemen?
Saya masuk politik 'menangis darah'. Bukan bermaksud mengecilkan hati saya. Awal masuk parlemen, pengamat underestimate artis. Saya kenyang makan cibiran, ada yang bilang cuma makan gaji buta, Venna cuma tahu model sepatu dan sekedar pemanis di parlemen. Bahkan, saking memikirkan omongan orang, tahun lalu saya keguguran. Saya cerita karena ingin perempuan Indonesia berpikir, mental nomor satu juga ternyata. Saya tidak ingin keluar dari DPR, saya bertekad berkiprah lebih banyak lagi. Toh, time will tell. Meski kemasannya begini, yang menilai kiprah kita masyarakat. Menarik berjuang di politik, karena lebih spesifik, lebih efektif memperjuangkan perempuan.

Banyak yang menganggap kapasitas perempuan di parlemen belum terlihat. Tanggapan Anda?
Justru terbalik, yang terlihat seperti apa? Saya melihat teman-teman di DPR punya strength sendiri-sendiri. Bukan berarti saya tidak pernah ngomong dianggap tidak pintar dan tidak kritis. Saya selalu berusaha memperjuangkan perempuan. Saya lakukan itu juga di daerah pemilihan saya, di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menjalankan program pendidikan, les bahasa Inggris, matematika, agama, yang semua gurunya perempuan. Saya ingin pemberdayaan perempuan, agar kreatif, saya ajarkan belajar organisasi. Ini oleh mereka, dari mereka, dan untuk mereka.

Saya juga punya grand design untuk RUU Anti-bullying di sekolah. Saat di Komisi X atas inisiatif pribadi, karena saya pindah di Komisi I, PR (pekerjaan rumah) saya belum lunas. Banyak hal di luar pekerjaan Komisi di DPR juga kita kerjakan karena kita perempuan. Kita concern karena kita punya anak. Perempuan sensitivitasnya tinggi. Negara ini butuh orang pintar dan jujur. Yang pintar banyak, jujur yang kurang. Perempuan strength, sensitif dan masih menjunjung tinggi kejujuran.

Anda melihat, seiring berjalannya waktu, apakah status pria dan wanita sudah sama, atau masih ada diskriminasi?
Tergantung individu, intelektualitas ditentukan tingkat pendidikan. Kalau menikah dengan pria berpendidikan S1 atau S2, pria akan memberikan ruang pasangan hidupnya untuk berekspresi, jadi pria lebih open minded.

Kenapa wanita masih terlihat inferior?
Karena pendidikan. Buta aksara didominasi perempuan dan prinsip kuno 'ngapain sekolahin perempuan toh akhirnya kerja di dapur juga' masih kuat. Perempuan harus dimotivasi, harus dibangun mental yang kuat, rajin sosialisasi isu perempuan dan bangun pemikiran perempuan bisa menjadi laki-laki. Ini harus menjadi grand design, tidak bisa dilihat dari sudut patriarki, pemerintah harus mengacu ke situ. Saya memang baru belajar di politik, saya yakin kesempatan untuk perempuan lain akan terbuka. Saya tunggu kiprah perempuan, karena perempuan misinya sama dan toleransi antar perempuan tinggi. Kalau punya kesempatan berkiprah di tiga sektor tadi, saya yakin perempuan akan all out.

Butuh waktu panjang mendorong perempuan berekspresi secara penuh dari diri sendiri, bagaimana perempuan mau masuk dunia politik. Di politik, masalah ekonomi terbangun, sosial budaya terbangun dan end up-nya masalah intelektualitas kita pacu, perlu fight di internal sendiri, untuk strong butuh waktu. Sebanyak apapun kebijakan tentang perempuan, kalau perempuan tidak ready dan termotivasi, tidak ada gunanya.

Bagaimana dengan embel-embel kata 'perempuan' di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Komnas Perempuan misalnya, bukankah justru menunjukkan adanya bias gender?
Justru kita lihat sistem di Indonesia, perempuan masih tetap di belakang layar. Tidak perlu jauh-jauh, perempuan masih harus minta izin suami kalau mau ngapa-ngapain, it happens. Kalau tidak punya kementerian khusus perempuan, siapa yang akan mengurusi dan melindungi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)? Mau diakui atau tidak, kita masih terbelenggu budaya patriarki. Bukan bermaksud membedakan perempuan atau laki-laki, itu masih terjadi.

Aturan di DPR mengenai larangan rok mini terkesan nyeleneh...
Sepanjang saya tahu, DPR membuat aturan pasti sudah ada aspek sosiologis. Semua sudah dipikirkan. Rok mini agak mengganggu, saya sendiri merasakan, orang harus tahu berpakaian kalau di DPR. Bukan anggota DPR yang memakai rok mini, tetapi tamunya. Parlemen ada tata tertib, agar image parlemen bagus. Tapi kalau rok mini ditertibkan, orang-orang yang suka merokok dan kebersihan yang masih amburadul juga harus ditertibkan.

Bagaimana dengan Satgas Anti-pornografi yang baru dibentuk?
Kalau pornografi, sepanjang aturannya bisa diimplementasikan dan jelas, serta dipatuhi, saya setuju. Kalau tidak ada batasan, kita bisa kehilangan identitas. Identitas kita sopan santun dan kebudayaan, Gobalisasi bikin kita lupa kalau kita orang Indonesia. Itu penting, UU kan makan biaya, tinggal implemetasinya.

Bagaimana dengan perempuan yang sekarang sedang terjerat korupsi, termasuk kolega Anda di Demokrat, Angelina Sondakh yang ditetapkan menjadi tersangka...
Saya melihatnya sangat personal, banyak juga laki-laki yang terlibat, namun tidak heboh. Laki-laki poligami tidak heboh, tapi kalau perempuan poliandri heboh. Itu bisa terjadi kepada siapa saja, lebih kepada behaviour. Saya tidak berani berkomentar lebih jauh mengenai sepak terjang seseorang. Kalau dia berani berbuat, dia sudah tahu konsekuensi yang akan ditanggung. Ini menjadi pembelajaran politik, ke depannya lebih cermat dan smart memilih wakil seperti apa yang duduk di parlemen.

Bagaimana Anda memandang sosok Kartini?
Luar biasa. Dengan zaman masih terbelenggu, tidak ada akses apapun, hanya menuangkan buah pikiran yang brilian ke dalam surat. Sangat luar biasa. Tapi menurut saya, perjuangan Kartini sudah lama, sekarang era berbeda, kebijakan berbeda, generasi berbeda dengan figur berbeda. Sebagai perempuan yang hidup di zaman sekarang, kita harus lebih dari Kartini, paling tidak menorehkan satu prestasi.

Apa pesan Anda untuk perempuan Indonesia?
Masalah mental, harus diubah paradigma lama bahwa kita bukan penentu kebijakan hidup. Salah, justru kita yang menentukan ke mana kita akan melangkah. Jangan langsung merasa hopeless. Mental itu harus seperti orang China, kerja sudah seperti ibadah. Perempuan harus bisa seperti itu, kuat mental, banyak impian, serta jangan cepat drop.

PR kita membuat image perempuan sebagai politikus bagus, agar banyak yang mau mencalonkan diri. Terus berkiprah positif dan elegan, tanpa mengurangi substansi. Ikon perempuan di DPR seperti itu yang harus dibangun.


Venna Melinda - Anggota Fraksi Partai Demokrat


http://jaringnews.com/politik-peristiwa/interview/13931/venna-melinda-cara-berpolitik-perempuan-lebih-elegan

0 komentar:

Posting Komentar