Lady Gaga dan Logika Minuman Beralkohol

Lady Gaga dan Logika Minuman Beralkohol


Ada yang menangis, ada pula yang ‘tertawa girang’ tanda kemenangan, manakala hari Ahad (27/5) lalu manajemen Lady Gaga membatalkan konser di Jakarta. Pembatalan konser yang diumumkan oleh manajemen Big Daddy Entertainment itu menjadi anti-klimaks kontroversi yang sejak  awal oleh Metro TV diberi judul sebagai “Konser Lady Gaga(l)” itu.

Hampir dua pekan publik terjebak dalam kontroversi soal Lady Gaga. Sebagian pihak menganggap membahas Lady Gaga hanya membuang waktu, tidak penting. “Mengapa media seolah berpihak kepada Lady Gaga? Apa pentingnya membela Lady Gaga? Apa manfaat yang diperoleh masyarakat, jika Lady Gaga konser di Indonesia?”

Sejumlah tanda tanya itu menyeruak, manakala setiap hari ruang publik disuguhi serunya perdebatan pro-kontra terhadap Lady Gaga. Perang opini muncul setelah pihak Polda Metro Jaya menegaskan belum akan memberi rekomendasi atau izin konser penyanyi nyentrik asal Amerika Serikat itu. Sebab, penampilan Lady Gaga berpotensi memicu konflik, karena ada pihak (baca: kelompok penekan garis keras) yang berkebaratan, bahkan mengancam membubarkan konser tersebut. “Konser Lady Gaga berpotensi merusak moral bangsa,” kata seorang juru bicara kepolisian.

Sejak kapan polisi mendapat tugas tambahan sebagai penjaga moral? Apakah polisi sudah bergeser dari tugas, pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai pelayan, pelindung/pengayom dan penegak hukum, sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri?

Tanpa berpretensi membela promotor, Big Daddy sebagai institusi bisnis hiburan adalah bagian dari masyarakat yang berhak mendapat pelayanan publik berupa izin, rekomendasi atau apapun itu namanya. Big Daddy sudah barang tentu pembayar pajak yang sah, dan keberadaannya dilindungi undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Sebagai pelayan masyarakat umum, polisi tentu juga melayani aspirasi masyarakat lain, yang kontra terhadap konser Lady Gaga. Inilah pokok soalnya. Seharusnya, menghadapi tuntutan pelayanan dua kutub atau pro dan kontra ini polisi semestinya bersikap adil, fair dan tidak berat sebelah. Harus dicari solusi yang bersifat win-win, bukan lose-win. Kepentingan Big Daddy, yang juga mewakili keinginan masyarakat penggemar Lady Gaga, harus diakomodasi, begitu juga dengan kepentingan kelompok penekan.

Barangkali, pengaturan atau syarat yang lebih ketat layak diterapkan dalam izin. Bukannya di pagi hari sudah mengatakan polisi tidak merekomendasi alias menolak memberi izin. Misalnya, konser digelar di tempat tertutup pada jam tengah malam dengan pembatasan usia penonton, dan sebagainya. Plus diberi peringatan, jika nanti Lady Gaga melakukan porno aksi, hukum akan berbicara dengan sendirinya.

Berikutnya, Polri sebagai pelindung masyarakat sejak awal bersikap tegak berdiri untuk mampu menjalankan tupoksi tersebut dengan mengeluarkan jaminan bahwa konser Lady Gaga tidak boleh lepas dari aturan hukum positif yang berlaku di NKRI, yaitu KUHP, UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, UU Keimigrasian, UU Ketenagakerjaan, dan hukum positif lain yang bisa diterapkan. Artinya, sepanjang sesuai aturan main siapapun yang berpotensi mengganggu konser harus berhadapan dengan hukum.

Jadi, bukan sebaliknya, sepertinya Polri hanya melihat satu sisi, yakni dari sisi potensi ancaman gangguan berupa pembubaran dari kelompok penekan yang reputasinya sudah jelas, yakni sering menabrak hukum positif tersebut. Seharusnya, sebagai aparat negara dan penegak hukum, Polri tidak boleh kehilangan muka di depan rakyatnya. Kalau sisi ancaman itu yang dikedepankan oleh Polri, lalu pertanyaannya Polri itu milik siapa?
Apakah Polri sudah dihegemoni kelompok penekan itu? Apa Polri sudah kehilangan nyali, sehingga dengan sekali ancaman atau gertakan, lalu buru-buru mengeluarkan pernyataan seolah berpotensi rusuh? Tak ayal, pihak Lady Gaga langsung membatalkan konsernya di Jakarta, dengan alasan tunggal: tidak adanya jaminan keamanan.

Sebagai penegak hukum Polri telah diberi kewenangan besar oleh rakyat untuk menegakkan hukum positif, termasuk kewenangan diskresi kepolisian yang dijamin undang-undang. Jadi, kalau ada pelanggaran hukum pada konser Lady Gaga, pasti tidak ada pihak manapun yang bisa menghalanginya. Jangan di pagi buta, ketika suatu delik belum terjadi, sudah dianggap melanggar.

Polri memang sering mengedepankan konsep preventif, pre-emptif dan represif. Tentu pendekatan tersebut harus diterapkan dengan cerdas, apalagi di era demokrasi modern ini. Adalah hak setiap individu untuk berekspresi dan memperoleh hiburan yang bersifat universal.

Memang, kebebasan berekspresi dan memperoleh hiburan itu tetap dalam koridor norma hukum dan norma sosial-keagamaan masyarakat. Tapi kalau dicermati dengan saksama, apakah Lady Gaga itu seronok atau porno? Ini adalah wilayah abu-abu yang bisa diperdebatkan alias penilaian subyektif. Tergantung sudut pandang dan perasaan individu masing-masing.

Setahu kita, Lady Gaga tidak akan tiba-tiba tampil telanjang bulat dan melakukan adegan seksual dalam konsernya. Bahwa Lady Gaga adalah tipikal penyanyi nyentrik, unik dan sensasional. Jika ada sementara pihak, khususnya Rhoma Irama, yang menyebut bahwa Lady Gaga selalu mempertontokan auratnya, maka itu akan masuk wilayah abu-abu lagi.
Ingat, Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan hukum syariah Islam. Apalagi, konser ini digelar di depan publik yang multi-etnik dan multi-agama. Jadi, bagi yang beriman bahwa tidak boleh melihat aurat orang lain, pilihannya sederhana: jangan menonton, tutup mata.

Kalau dalih izin konser Lady Gaga ini adalah dasar agama, maka ada logika yang dirusak. Jelas, babi dan minuman keras, adalah barang haram. Faktanya, pemakan babi dan peminum alkohol tetap ada dan berkeliaran di depan publik. Lihatlah di restoran, rumah makan, kedai, hotel dan tempat hiburan yang bertebaran di masyarakat, dijual daging babi dan minuman keras aneka merek.

Khusus daging babi, bisa dijual bebas di sembarang  tempat. Sedangkan minuman keras, hampir semua daerah di Indonesia memberlakukan peraturan daerah (Perda) yang membatasi area penjualan minuman yang memabukkan. Pertanyaannya kemudian, apakah babi dan minuman keras itu merusak moral, dan dilarang di Indonesia?

Intinya regulasi, pengaturan, pembatasan, pengelolaan, penjagaan, agar kepentingan masyarakat konsumen babi dan minuman keras itu tetap bisa memperoleh, tanpa harus meracuni pihak lain beriman yang mengharamkan babi dan minuman keras tersebut. Jika ada pihak yang mengancam, apalagi merusak tempat pedagang babi dan minuman keras itu, sudah barang tentu hukum positif KUHP akan berbicara. Siapa yang harus menindak pelaku pengancaman dan atau perusakan itu, ya polisi. Karena polisi diadakan dan dibiayai oleh rakyat pembayar pajak, termasuk pedagang atau konsumen daging babi dan minuman keras tersebut.

Jadi, dengan logika daging bagi dan minuman keras itu, jika ada pihak yang hendak mendatangkan Lady Gaga sepanjang pengadaannya sah dan tidak melanggar hukum positif, Polri semestinya memberi izin. Jika perlu, tanpa diminta. Ini demi tegaknya tupoksi sebagai pelayan masyarakat, pelindung/pengayom dan penegak hukum yang profesional.

Apa lacur, rekomendasi dari Polri belum keluar, lalu ‘bumbu’ ancaman dari kelompok “hard liner” sudah bertebaran hingga sampai ke telinga Lady Gaga, maka publik pecinta seni dan masyarakat kebudayaan di Indonesia gagal memperoleh haknya. Gagalnya Lady Gaga manggung dan menyeronok, harusnya tidak cukup dilihat sebagai ‘kemenangan’ kelompok anti-Lady Gaga semata. Sebaliknya, situasi ini menyiratkan pesan akan kalahnya seni dan budaya untuk memperoleh tempatnya. Bahkan yang lebih mengerikan, kebebasan berkekspresi sebagai salah satu hak masyarakat, telah dirampas oleh satu pihak.

Ingat, sekali satu kelompok mengklaim memperoleh kemenangan, dan ada pihak yang dikalahkan, ini akan menjadi ‘luka yang membekas’ sekaligus menciptakan preseden buruk yang jika dibiarkan, berpotensi meretas nilai persatuan dan pluralisme yang pernah dinikmati sementara waktu oleh negeri ini. Preseden yang paling buruk lainnya adalah jika kelak ada produk seni atau kebudayaan lain yang oleh sebagian pihak dianggap menyimpang dan tidak sesuai, larangan dikeluarkan serta merta dan sepihak.

Ancaman itu sudah nyata di depan mata. Lady Gaga sebagai produk berkesenian global adalah bukan satu-satunya pekerja seni yang seronok, yang memiliki bejibun penggemar di Indonesia. Esok atau lusa, masih akan banyak produk budaya dunia yang terus mengglobal, termasuk ke Indonesia, seperti musik, film atau produk kreatif multi-media lainnya. Siap-siap saja jika suatu hari kelak kita tak bisa lagi menikmati film yang oleh kelompok tertentu dicap secara sepihak bisa merusak moral bangsa.

Betapa sulitnya menjadi orang Indonesia, yang sudah telanjur basah mendeklarasikan diri sebagai masyarakat serba multi ini dan ber-Bhinneka Tunggal Ika tapi telah ‘dibajak’ oleh kelompok penekan ini. Kita rindu Tanah Air, ibu pertiwi yang bernama Indonesia yang aparat negaranya berdiri di atas semua golongan, mengayomi segenap rakyat dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia ini.

Makroen Sanjaya

http://www.metrotvnews.com/read/behindscenedetail/2012/05/29/261/Lady-Gaga-dan-Logika-Minuman-Beralkohol

0 komentar:

Posting Komentar