Stop Edanisme dalam Pendidikan Kita

Stop Edanisme dalam Pendidikan Kita


Edanisme dapat dimaknai sebagai paham yang menempatkan manusia pada posisi tidak memiliki lagi apa yang dinamakan cipta, rasa, dan karsa. Seorang pujangga Jawa, R. Ronggowarsito menulis ramalannya sejak lama. Dijelaskan bahwa manusia akan mengalami suatu masa yang disebut jaman edan, dimana akal nurani tidak berjalan, karena senantiasa diselimuti hawa nafsu duniawi, dan sebaliknya jika tidak mengikuti jaman, akan “mati kelaparan” tergilas oleh manusia lainnya yang serakah. Kunci untuk mengatasi hal tersebut ialah selalu ingat dan tawakal kepada Tuhan, serta waspada menghadapi setiap tantangan. Jaman edan sudah merambah kemana-mana dan berusaha untuk mempengaruhi siapa saja. Maka suka atau tidak suka, mau tidak mau, dan rela tidak rela, masyarakat dunia dilanda edanisme. Opini ini terinspirasi dari liputan dan laporan VOA tanggal 4 Oktober 2012 berjudul Sekolah Virtual di AS Dapat Reaksi Negatif   dan tanggal 6 Oktober 2012 berjudul Kemampuan Mengajar Guru di AS Dinilai dari Hasil Ujian Murid dimana dari pengalaman selama ini, kedua judul ini memiliki makna yang berlawanan, yakni pengaruh dunia maya dengan prestasi siswa.

Keberadaan pemimpin kita, keberadaan kita, anak cucu kita, terlalu bersemangat menyambut globalisasi yang dimotori oleh pesatnya perkembangan komunikasi dan informasi. Dampaknya adalah, sebagian generasi kita mengalami “kebangkrutan”.

Ternyata bukan hanya pengusaha yang bangkrut, tetapi pemimpin, penghibur, pengawas, semua kita bangkrut. Lebih-lebih yang memahami globalisasi, komunikasi dan informasi sebagai keharusan, bukan alternatif. Yang menelan mentah-mentah semua pengaruh yang datang dari dalam dan dari luar. Dibaca, diterima, difahami dan dipraktikkan apa adanya, tanpa ada pertimbangan. Kalaupun ada saringan, bentuknya hanya berupa himbauan sementara, teguran ringan atau peringatan berhati-hati. Padahal semua itu tak sebanding dengan derasnya pengaruh asing yang menggerogoti moral dan akhlak tanpa pandang bulu. Kebangkrutan semakin menjadi-jadi.

Dalam kaca mata moral, bangkrut identik dengan jiwa yang kosong, hampa dan tidak bermakna sama sekali, tidak memperoleh apa-apa. Dari kaca mata jati diri, bangkrut berarti hilangnya kejujuran dan kesungguhan, sehingga apa yang dia perbuat bukan hanya tidak bermanfaat tetapi juga bisa merugikan banyak pihak.

Diakibatkan pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap kemajuan global, maka edanisme yang melanda generasi kita diwujudkan dan diimplementasikan dengan keliru juga. Sesungguhnya dia tahu apa yang dia gunakan, dia tahu keuntungan dan kerugian akibat dari perbuatannya, tetapi kebanyakan tidak mau menghindar dari perbuatan keliru itu dengan alasan ingin mencoba, takut dikatakan ketinggalan zaman dan aneka alasan lainnya. Maka disinilah edanisme itu mendominasi kehidupan, dalam segala sektor.

Selain itu, edanisme timbul karena masih dangkalnya pemahaman terhadap arti dan makna sebenarnya dari perubahan dan kemajuan. Benar kalau mau maju harus berubah, namun sayangnya perubahan banyak yang tidak mengarah kepada kemajuan. Kita yakin bahwa generasi kita akan berubah, generasi kita akan maju, tetapi tugas semua pihak untuk menempatkan mereka pada posisi perubahan dan kemajuan yang tepat. Yang membekali mereka dengan satu keyakinan bahwa bangsa, negara dan agama di masa depan adalah tanggung jawab mereka.

Edanisme bukan hanya perbuatan dan ulah, bukan pula sifat dan tradisi, tetapi edanisme merupakan dadakan dari sebuah desakan yang sarat dengan prestise dan kegombalan zaman. Mereka terbius oleh hiruk pikuk dan warna-warni kehidupan yang membuat mereka lupa eksistensinya, lupa diri. Mereka sebenarnya dapat membedakan antara minum air putih yang menyehatkan dengan minuman keras yang memabukkan, tetapi sebagian besar mereka meminum kedua-duanya. Mereka sebenarnya tahu perbedaan antara panggilan untuk beribadah dengan suara musik jaz yang menghibur dan bersuka ria, tetapi mereka justru keliru dalam memilih mana yang harus didahulukan. Mereka tahu perbedaan antara hubungan sosial dengan tawuran, tetapi ketika harus mempertahankan gengsi dan kesombongan, maka dengan alasan setia kawan merka menjatuhkan pilihan pada perbuatan yang menyakiti, menyusahkan dan merepotkan orang lain.

Kalaupun ada yang menganggap bahwa edanisme adalah sebuah kreatifitas dan mode, namun sebagian besar lainnya menganggap itu sebagai kekosongan hati yang membawa dampak pada perubahan prilaku. Selanjutnya, sebagian mereka memperagakannya dengan prilaku bego, prilaku menyimpang, prilaku asal-asalan, prilaku yang hampa tanpa makna.  Memang ada yang melakukannya sebagai ikut-ikutan dan bersifat sementara, tetapi bahaya yang ditimbulkan sangat fatal dan permanen, bukan hanya berupa kurangnya kontrol diri  dan menipisnya rasa menghargai orang lain, tetapi juga menipisnya rasa kekeluargaan yang tidak sedikit menimbulkan perpecahan, perkelahian massal dan bahkan kesewenang-wenangan.

Edanisme telah mencoreng dunia pendidikan. Menipisnya rasa kasih sayang dan berkurangnya rasa menghargai merupakan kristalisasi dari kehidupan yang tak terkontrol. Maka persiapan generasi sebagai pemimpin masa depan melalui pendidikan harus mendapatkan perhatian serius, sehingga generasi yang lahir berikutnya adalah generasi yang tangguh ilmu dan imannya. Bukan mencetak generasi beo, generasi tanpa arah, generasi pemabuk, generasi yang kejam, generasi materialistik dan bukan pula mencetak generasi yang mimpi di dunia maya, tanpa belajar, tanpa kreatifitas dan tanpa inisiatif.

Generasi pintar banyak, generasi kreatif lumayan, generasi yang bermoral juga tidak sedikit. Generasi membeo juga jumlahnya bejibun, tetapi generasi tangguh yang kokoh ilmunya dan kuat imannya inilah yang sangat kurang. Penyebabnya adalah sebagian masih mengukur kehidupan dengan materi sehingga runtuhlah rasa kasih sayang, ambruklah rasa saling menghargai dan hancurlah rasa kekeluargaan.

Keadaan generasi di dunia maya dewasa ini hampir semuanya diukur dengan materi. Bahkan seringkali di dunia pendidikan, kita sering mendidik generasi dengan uang dan materi. Kalau para pendahulu kita mendidik dengan akhlak, misalnya kalau malas maka diberi hukuman, kalau bodoh dihukum, melanggar peraturan dihukum, sehingga mereka mampu mencetak manusia-manusia yang bertanggung jawab. Generasi terdahulu berprinsip bahwa kehidupan adalah belajar, berbuat, berusaha, hidup sederhana, rendah hati, selalu bersyukur, bersabar, ulet dan tekun. Sifat mulia yang kini sudah menjadi langka akibat pengaruh globalisasi. Edanisme telah menyulap semua peradaban dan kebudayaan baik yang sesuai dengan moral maupun yang bertentangan dengan kemanusiaan menjadi dianggap layak dan bebas dikembangkan. Jadilah generasi bebas yang tidak lagi percaya kepada norma,  parahnya lagi kebebasan itu diaplikasikan dengan sebebas-bebasnya, nyaris tanpa batas.

Salah satu implementasi dari edanisme adalah berkembangnya “budaya” pendidikan yang tidak sesuai dengan keluhuran budaya, yakni nyontek. Kebiasaan yang satu ini munculnya memang sudah lama, tetapi menjadi trend bersamaan dengan dinaikkan standar nilai kelulusan siswa. Pada tahun-tahun awal penerapannya, banyak pihak sekolah yang benar-benar kebakaran jenggot karena banyaknya siswa yang tidak lulus, bahkan banyak diantaranya yang tidak lulus seratus persen. Ketika kelulusan masih dominan diukur “terpusat” yakni UN disamaratakan di semua daerah, padahal fasilitas penunjang pendidikan di tiap daerah tidak sama. Pihak sekolah tidak diberikan kekuasaan untuk distribusi nilai, terutama bagi pelajaran yang diujinasionalkan. Kelulusan tidak diukur berdasarkan kemampuan mengajar guru dan kemampuan berpikir siswa, yang semestinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Belajar dari pengalaman itu, beberapa pola dan metode dirubah sesuai dengan strategi masing-masing sekolah. Ada yang memberikan remedial atau les selama 6 bulan penuh dan bahkan ada yang mengkarantina siswanya menjelang ujian. Nampaknya Ujian Nasional begitu disakralkan yang malah membuat kejiwaan siswa tertekan. Siswa terpaksa dipacu memenuhi standar yang telah ditentukan pemerintah. Hasilnya, pada tahun kedua ada sedikit peningkatan tingkat kelulusan siswa, namun jumlah yang tidak lulus tidak dapat dikatakan sedikit.

Ujian Nasional berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti penonjolan sisi kognitif pembelajaran dan mengabaikan pembangunan karakter siswa, akibatnya siswa terdidik untuk menonjolkan nilai akademiknya saja sementara sisi kejiwaan tidak ikut terbangun. Dampak buruknya berikutnya adalah pendidikan hanya mencetak orang pintar tanpa nilai-nilai demokrasi, anti korupsi, saling menghormati dan berbagi dengan sesame.

Walaupun tahun-tahun terakhir ini, tingkat kelulusan siswa sungguh luar biasa, dimana UN tahun 2012, siswa SMP yang lulus mencapai 99,22 persen, SMA/MA 99,50 persen dan SMK mencapai 99,7 persen, namun sayangnya, bersamaan dengan itu, budaya edanisme merasuk dalam dunia pendidikan, sehingga kelulusan hanya merupakan kepuasan, bukan lagi sebuah kebanggan.  Berbagai isu negatif bertiup dari berbagai penjuru. Membaca berita di http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/079402804/Menteri-Agung-Jual-Beli-Jawaban-UN-Bohong tanggal 9 Mei 2012 misalnya, bahwa Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa praktik jual beli kunci jawaban terjadi secara terstruktur dan massif. ICW mendapat kunci jawaban pelajaran Matematika dengan tingkat kebenaran yang tinggi. Demikian pula informasi yang dihimpun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan bahwa kasus peredaran kunci jawaban UN terjadi di berbagai tempat. Ada panitia yang membuka soal lalu membuat kunci jawaban dan membagikannya kepada siswa. Ada pula yang pagi-pagi ketika soal ujian tiba, salah seorang guru mengisi soal ujian di rumahnya, kemudian dibagi-bagikan kepada siswa. Dan bahkan ada sekolah yang siswa, pengawas, hingga kepala sekolah bekerjasama berbagi kunci jawaban ujian. Jika demikian halnya, apa yang harus dibanggakan dari kelulusan 100 persen sekalipun.

Edanisme yang diajarkan sejak dini dampaknya sangat besar saat ini. Siswa sepertinya tidak mau bersusah payah menekuni pelajaran. Pulang pergi sekolah – walaupun menjelang ujian – dijadikan sebagai rutinitas biasa. Bagi mereka toh pada akhirnya, kunci jawaban akan memuluskan semuanya. Apakah kita mesti berbangga dengan hasil terbaik yang diperoleh karena kunci jawaban yang dibagikan guru atau yang dibeli dari pihak ketiga? Apakah harus bangga dengan nilai yang seringkali berputar tiga ratus enam puluh derajat dari prestasi siswa yang sesungguhnya. Siswa yang track recordnya pemalas dan kurang pandai bisa saja meraih  ranking satu dalam ujian hanya karena sumbernya lebih terpercaya, dan sebaliknya siswa yang selama duduk di bangku kelas memiliki prestasi yang menonjol justru dalam ujian nilainya pas-pasan dan bahkan banyak yang tidak lulus karena tidak dapat “bocoran”?

Justru kita prihatin dengan keadaan seperti ini. Prihatin karena ranking bukan lagi diukur oleh prestasi dan kemampuan guru mengajar.  Prihatin karena betapa banyaknya kasus sekolah yang diwajibkan menyelenggarakan ujian ulang karena ketahuan melakukan kecurangan. Prihatin karena baik pengawas maupun yang diawasi sudah sama-sama membudayakan “harap maklum” dalam pelaksanaan penentu kelulusan.

Mampukah edanisme dihapuskan dari dunia pendidikan? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, karena ketidakmungkingan itu sendiri sesungguhnya merupakan kemungkinan.


http://sekdessuntalangu.wordpress.com/2012/10/19/stop-edanisme-dalam-pendidikan-kita/

0 komentar:

Posting Komentar