Kekerasan, Identitas, dan Cinta

Kekerasan, Identitas, dan Cinta


Kekerasan di Indonesia berekskalasi terus sampai pada titik, di mana Indonesia mendapat kritik, kecaman, sentilan dari dunia internasional. Beberapa menganggap bahwa hal ini adalah kelilip bagi Indonesia, karena secara umum pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanan Indonesia normal, aman dan baik-baik saja. Kelilip ini adalah kecil, tetapi mengganggu. Suatu hal yang mengusik, tetapi begitu remeh-temeh. Sesuatu yang kurang penting, tetapi sangat mempengaruhi segala yang penting.

Tebak menebak, kekerasan ini bersumber dari agama. Lagi-lagi Islam Indonesia terkena imbasnya. Bagi Barat yang sudah cukup puas diberi makan makna dan identitas Islam yang negatif, sedikit-sedikit, melihat Indonesia itu suka kekerasan. Islam Indonesia produktif dalam memproduksi teroris yang pro terhadap kekerasan. Islam Indonesia itu suka marah-marah, tidak intelek dan emosional. Sedikit dicibir figurnya saja, umat Islam Indonesia  langsung membuat kedutaan negara superpower tutup. Beberapa negara lain ada yang meninggal. Dan demonstrasi sterjadi dimana-mana atas nama Islam.

Siapa yang tak suka diejek tokoh idolanya atau diusik golongannya? Teori lain mengatakan kekerasan bersumber dari ras dan etnis. Teori lainnya lagi menyebutkan masyarakat Indonesia yang masih barbar dan kurang berpendidikanlah penyebabnya. Yang lain mengatakan faktor ekonomi.

Semua teori menjelaskan pada hal yang memang tampak dijelaskan. Benci di dalam dada, emosi jiwa, dan dendam kesumut susah untuk diindikatorkan. Kebencian dan jiwa kosong yang hampa tak tersentuh oleh penjelasan teoritis ilmu sosial dan ilmu alama.

Ilmuwan, intelektual yang mengurusi resolusi konflik, pencegahan konflik dan kekerasan dengan perangkat metodologis yang hanya kasat mata, dan dapat diukur tidak membuat dunia aman dan tentram. Buktinya, kini peraih nobel perdamaian sejak kemunculan penghargaan tersebut tidak membuat kekerasan di dunia dan khususnya di Indonesia turun.

Tentunya kekerasan di jaman dinasti China, zaman Romawi, dan peradaban Islam berbeda-beda. Konteks zaman sangat berpengaruh. Demikian pula zaman sekarang. Apa kuasa kita mengukur-ukur kekerasan dan HAM? Jika Barat, seperti AS melakukan kekerasan terhadap Islam pun mereka menamainya sebagai penjaga stabilitas keamanan. Jika Islam yang domonstrasi terhadap Barat, maka Islam dicap negatif seperti tukang marah, emosional dan barbar.

Apa yang ingin diungkapkan bukanlah menyalahkan AS, Islam ataupun Indonesia. Hal yang paling penting adalah problem metodologis. Dunia masih terdogma dan terdoktrin metodologi ilmu alam yang dimasukkan ke dalam ilmu sosial dan ilmu budaya. Melihat manusia yang kompleks dengan ukuran materiil.

Kekerasan dan Identitas

Ketika Amartya Sen mengisi kuliah di Universitas Boston (2002), dia yakin bahwa identitas adalah sumber dari kekerasan. Identitas bisa masuk ke agama, etnis, ras dan negara serta yang lainnya. Pengkotak-kotakkan yang saling mengekslusi satu dengan yang lain menimbulkan kekerasan. Menurut Sen, kesadaran identitas bersumber tidak hanya pada kebanggaan dan kesenangan semata, tetapi juga kekuatan dan kepercayaan diri. Kekuatan dan kepercayaan diri ini bersumber dan berpusat kecintaan dan rasa memiliki yang begitu besar terhadap identitas yang dimilikinya. Kecintaan dan rasa memiliki ini menciptakan kebencian dan eksklusifitasan. Sudah barang tentu, hal ini akan menampilkan konflik, lalu bentrok dengan wujud kekerasan dan pelanggaran HAM.

Kekerasan dan Cinta

Cinta diterjemahkan oleh kalangan ilmuwan menjadi suatu yang terukur seperti seberapa banyak berhubungan, seberapa banyak pemberian, dan seberapa banyak pujian yang diungkapkan. Konteks yang terjadi di lapangan, cinta susah untuk diukur dan lebih kompleks. Sedalam apa cinta suatu golongan, sehingga dia tega membenci adik atau kakaknya sendiri? Sedalam apa cintanya terhadap identitas keislaman mereka, sehingga membuat perwakilan negara sekuat apapun ditutup?

Cinta tidak hanya memenjarakan manusia ke dalam kebencian yang mendalam terhadap sesamanya. Cinta juga membuat setiap umat manusia saling membunuh dan berbuat kekerasan. Cinta membuat umat manusia penyuka kekerasan. Kebutaan cinta membuat manusia berakhir pada tragedi.

Kecintaan terhadap figur yang dikagumi membuat masyarakat lain terekslusi. Sindiran, ancaman, bahkan peminggiran, tampil di masyarakat kita bersumber dari kecintaan suatu golongan. Cinta memang buta. Bagi Indonesia, banyaknya suku, ras, agama, dan loyalitas identitas membuat kekerasan selalu ada dan dinamis di Indonesia. Sumbernya adalah kedalaman cinta mereka terhadap identitas yang dipercayainya.

Cinta adalah indikator yang tidak terukur dalam kajian ilmiah. Oleh sebab itu, kasus kekerasan hanya berhenti pada identitas agama, etnis, ras, dan nasionalisme saja. Identitas hanyalah pintu menuju sumber utama kekerasan, yakni cinta buta. Rusaknya hubungan Cina dan Jepang yang sekarang sedang marak adalah tampilan luar dari kecintaan mereka terhadap bangsanya.

Sepertinya, globalisasi belum tentu menggerus nasionalisme. Seorang perdana menteri Jepang lebih mencintai bangsanya (nasionalisme) dengan membakar aktor K-pop kecintaannya. Cinta adalah pilihan. Ketika memilih mencintai satu hal yang begitu dicintainya, maka yang lain menjadi sesuatu yang bisa jadi dibencinya.

Persoalan pelik ini sesungguhnya dapat dipecahkan berdasarkan makna cinta yang tersebar di pengalaman sejarah, mitos, kisah, dunia seni, keindahan, dan segala hal yang terkait dengan seni dan budaya yang tak terukur pula. Segala hal yang rumit dan tak mungkin diukur secara kasat mata dan kuantitatif perlu diselesaikan oleh para ahli yang memang tidak menggunakan indikator yang terukur pula seperti pekerja seni dan budaya.

Di Indonesia begitu banyak seniman dan budayawan yang dinggap kredibilatas dan validitas keilmuwannya kurang, dibandingkan ilmu sosial dan ilmu alam. Jika problem yang terjadi bersumber pada fenomena tak terukur, maka kita perlu secara bijak memberi otoritas/peran terhadap seniman dan budayawan untuk ikut andil.

Kekerasan di Indonesia, jika memang masalahnya adalah faktor ekonomi, maka hal itu bisa diselesaikan dengan uang. Jika hal ini adalah menyangkut fenomena politik, maka bisa jadi diselesaikan dengan ruang kebebasan. Jika problemnya keamanan, maka polisi ditempatkan untuk pengamanan.

Semua itu tak terselesaikan jika entitas-entitas di atas mempunyai kebencian satu dengan yang lain demi kecintaan mereka terhadap kepercayaannya. Sebaik-baiknya polisi, jika dia lebih cinta kepada keluarganya, maka dia bisa saja melakukan kekerasan demi keluarganya. Seorang ulama bisa saja mengkafirkan sesamanya, karena kecintaannya terhadap golongannya sendiri dan kepercayaannya. China, Jepang, Amerika, Islam, Budha dan yang lainnya bisa jadi melakukan kekerasan atas nama jubah identitas yang melekat di dirinya, tetapi sumbernya tetap pada cinta yang mendalam tanpa dasar. Jadi identitas hanyalah representasi yang tampak dari cinta yang buta.

Musa Maliki
Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Universitas Al Azhar Jakarta; Universitas Paramadina
Dapat dihubungi di musa_maliki@yahoo.com


http://suar.okezone.com/read/2012/09/28/58/696252/kekerasan-identitas-dan-cinta

0 komentar:

Posting Komentar