Hindarkan Pelajar dari Tawuran

Hindarkan Pelajar dari Tawuran


Kalangan pengamat atau lembaga terkait dengan pendidikan seperti terlecut suara petir ketika lagi-lagi mendengar seorang siswa tewas akibat tawuran antarpelajar di Jakarta, Senin, 24 September 2012. Mereka saling tuding siapa yang semestinya bertanggung jawab atas insiden mematikan itu.

Alwi Yusianto Putra, siswa kelas X SMA Negeri 6, telah menjadi korban tawuran dengan para pelajar di SMA Negeri 70. Kedua sekolah ini bertetangga di Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aksi tawuran pelajar sesungguhnya telah menjadi perhatian Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono setelah kasus kekerasan di SMA Don Bosco, Pondok Indah, Jakarta Selatan.

“Kekerasan di Don Bosco diminta Presiden agar tak terulang lagi,” ujar Badriah Fayuni, Koordinator Bidang Pendidikan di Komisi Perlindunagan anak Indonesia, mengutip pernyataan presiden beberapa waktu lalu.

Namun, aksi saling keroyok dengan senjata tajam terulang kembali di ibu kota negara, bahkan meminta korban jiwa. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak, sedikitnya 16 siswa telah meregang nyawa akibat kasus serupa sepanjang tahun ini. Mereka berasal dari 86 kasus tawuran antarpelajar yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. “Ada puluhan lainnya yang menderita luka berat dan ringan akibat perkelahiran itu,” ujar Ketua Komisi, Arist Merdeka Sirait.

Arist menjelaskan, tawuran antarpelajar bukan peristiwa baru, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Tren kejadiannya bahkan meningkat dari tahun ke tahun. “Pada 2011 misalnya, terjadi 139 kasus tawuran dengan jumlah korban jiwa 39 anak,” ujarnya.

Menurut Badriah, jika tawuran yang menyebabkan kematian siswa, semestinya hal itu menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. “Sekolah yang terlibat, Dinas Pendidikan, dan Kementerian yang tertampar,” ujarnya.

Pengamat pendidikan Arif Rahman Hakim kepada Radio El Shinta, Rabu pagi, 26 September 2012, mengatakan untuk menghindari aksi tawuran pelajar yang kian marak perlu diadakan kegiatan bersama antarpelajar. Kegiatan itu, misalnya melakukan olah raga bersama, naik gunung, atau kegiatan lainnya.

Arif memberikan tanggapannya terhadap kematian Alwi yang menjadi korban tewas akibat disabet senjata tajam oleh sejumlah siswa SMA Negeri 70 dalam tawuran antarpelajar, Senin lalu.

Mengenai usul penggabungan sekolah agar terhindar dari tawuran antarpelajar ditolak keras oleh M. Ihsan dari Satuan Tugas Perlindungan Anak. “Penggabungan sekolah yang kerap tawuran bukan solusi terbaik. Wacana ini semestinya tak diterima,” kata M. Ihsan.

Menurut dia, tawuran merupakan ekspresi kekerasan yang ditampilkan oleh pelajar. Ekspresi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti lemahnya pengasuhan dan ketahanan keluarga, pendidikan yang tidak ramah anak, lingkungan yang anarkis, serta mempertontonkan kekerasan. "Premanisme elit dan jalanan, sinetron, serta game online," katanya.

Tawuran juga dapat dipicu oleh ketidakmampuan orang dewasa memahami dunia anak, energi yang tidak tersalurkan dengan baik, dan fasilitas yang terbatas. Kemudian, tekanan sistem pendidikan yang membuat anak stres, pengaruh kelompok atau pergaulan, pendapat dan suara anak yang tidak didengarkan.

"Kurangnya penghargaan terhadap anak dan pemanfaatan waktu luang juga menjadi pemicu," ujar dia. Untuk mengurangi ekspresi kekerasan ini, menurut Ihsan, pemerintah dan masyarakat seharusnya segera berbenah dengan melibatkan anak. "Libatkan anak dalam semua proses, bukan menggabungkan sekolah," ujarnya


http://www.tempo.co/read/fokus/2012/09/26/2588/Hindarkan-Pelajar-dari-Tawuran

0 komentar:

Posting Komentar