Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan


“Pada tataran lokal, sinisme saling berkaitan, saling membantu, menyebar dan mendapat dukungan luas”. Apa yang dikatakan oleh Micahel Focault di dalam Lavolente de Savoir (1976) tersebut seolah terjadi di Indonesia. Terkuaknya ragam ironi wajah politik dan hukum yang direpresentasikan oleh perilaku korup pejabat publik, menjadi sketsa banalitas penguasa yang akhirnya melahirkan sinisme kolektif terhadap kekuasaan. Utamanya pada sektor hukum dan politik.

Namun kabar buruk politik dan hukum itu berbanding terbalik dengan sektor ekonomi. Di tengah kompleksitas problem politik dan hukum yang mengerinyitkan hati, tersisa seberkas optimisme dari sektor perekonomian.  Optimisme publik,  sebagai gambaran ekspektasi yang besar akan perbaikan kehidupan di masa-masa mendatang.

Optimisme Ekonomi

Optimisme ini terungkap dari rilis hasil survei teranyar Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Minggu (19/2/2012). Menurut survei yang dilakukan pada 1-12 Februari 2012 dengan melibatkan 2.050 responden tersebut, rakyat secara umum cenderung lebih positif dalam melihat keadaan ekonomi nasional saat ini. Perekonomian menunjukkan trend positif dan dipandang semakin optimis.

Sebagaimana dikatakan oleh peneliti LSI Burhanudin Muhtadi, tercatat 42 persen responden menilai perekonomian satu tahun ke depan lebih baik, 6 persen jauh lebih baik, sementara yang menilai jauh lebih buruk hanya 1 persen, lebih buruk 7 persen, tidak ada perubahan 22 persen dan tidak tahu atau tidak jawab 21 persen.

Untuk kondisi saat ini sendiri, 30 persen responden menyatakan keadaan ekonomi nasional membaik, yang melihat lebih buruk hanya 24 persen, kemudian 35 persen tidak ada perubahan, 6 persen tidak tahu/tidak jawab, 2 persen jauh lebih baik dan 2 persen lagi melihat  jauh lebih buruk.

Survei LSI ini mengonfirmasi apresiasi yang diberikan berbagai lembaga internasional beberapa waktu yang lalu. Diantaranya pemberian rating layak investasi oleh dua lembaga pemeringkat yang diakui dunia, yaitu Fitch Ratings pada 15 Desember 2011 dan Moody’s Investors Service pada 18 Januari 2012.

Salah satu faktor yang turut berperan dalam optimisme perekonomian Indonesia adalah semakin besarnya jumlah kelas menengah. Mereka yang diyakini menjadi penggerak utama sektor konsumsi domestik sehingga perekonomian Indonesia tahan guncangan krisis yang hingga saat ini masih mengamuk di AS dan Eropa serta telah berdampak negatif di beberapa negara Asia seperti Cina dan India. Data World Bank pada tahun 2010 menunjukkan jika kelas menengah di Indonesia telah menembus angka 134 juta jiwa atau setara dengan 56,5 persen dari 240 juta total penduduk.

Faktor kedua, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil semakin memperluas akses lapangan kerja sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Membaiknya kesejahteraan inilah yang merangsang tingginya tingkat konsumsi. Sebagaimana disebutkan oleh Rhenald Kasali (2010), salah satu ciri kelas menengah adalah gaya hidup yang cenderung konsumtif.

Gelombang gaya hidup konsumtif sekaligus bisa menjadi instrumen optimisme ekonomi. Hal ini bisa kita baca dari semakin menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan dengan jumlah pengunjung yang membludak. Demikian pula dengan cafe, resto dan tempat kongkow-kongkow, dipenuhi oleh anak muda. Angka pembelian kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat serta volume transportasi udara juga meningkat.

Di tengah kebangkitan kelas menengah dengan gaya hidup yang khas tersebut, tentu merupakan peluang besar untuk semakin mengakselerasi perekonomian karena akan mendongkrak kuantitas demand. Namun, era perdagangan bebas yang menyebabkan semakin mudahnya produk-produk asing masuk ke Indonesia, merupakan sebuah ancaman jika tidak disertai bersaing.

Maka dari itu, perlu adanya standardisasi kualitas produk, baik barang maupun jasa. Produk dalam negeri harus bisa bersaing dengan produk asing. Semangat standar nasional Indonesia (SNI) yang beberapa waktu lalu dikampanyekan, harus diteruskan. Lebih dari itu, kampanye “Aku Cinta Produk Indonesia” harus dimasifkan hingga menciptakan awarness (kesadaran) yang terpatri secara kolektif. Brand Indonesia harus menjadi prestise tersendiri.

Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan lokal pun perlu didorong untuk memperkuat branding dengan pendekatan rasional dan emosional. Rasional dalam artian, secara kualitas, produk-produk lokal memang layak digunakan. Emosional berarti mengangkat sisi lokalitas sebagai kebanggan. Peluang memperkuat branding lokal ini semakin terbuka dengan kreasi-kreasi baru anak Indonesia yang belakangan marak, seperti mobil Esemka misalnya. Ini momentum baik yang harus dimanfaatkan.

Entrepreneur Muda

Akhirnya, optimisme tersebut tak cukup hanya menjadi bak lukisan indah di permukaan air yang bisa sirna seketika hanya dengan riak kecil. Apa lagi saat ini badai ekonomi krisis di Eropa dan AS terus meminta tumbal, menyeret negara-negara mitra dagang mereka. Termasuk juga sensitivitas politik jelang pesta demokrasi 2014 yang bisa saja turut memengaruhi iklim perekonomian.

Pemerintah harus menutup celah yang bisa membuat bangunan ekonomi keropos. Diantaranya dengan mengarahkan investasi pada sektor ril padat karya dan padat teknologi. Termasuk juga membuka peluang-peluang baru, melibatkan entrepreneur-entrepreneur muda  dengan mempermudah akses pertumbuhan usaha mikro yang pada gilirannya berperan sebagai bantalan ekonomi. Kita ketahui, bahwa rasio entrepreneur saat ini masih sangat kecil. Data yang kami (HIPMI) miliki, baru ada 0,18 persen entrepreneur dari total penduduk. Artinya masih dibutuhkan banyak entrepreneur di negeri ini.

Hanya dengan langkah-langkah tersebut, optimisme yang direkam oleh survei LSI, bermanfaat untuk mengonstruksi pembangunan ekonomi secara berkesinambungan (sustainable economics development).
Yaitu pembangunan dengan pola pertumbuhan yang menggunakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap menjaga lingkungan sebagai habitus resources, sehingga kebutuhan tersebut tidak habis untuk generasi sekarang akan tetapi tetap terjaga untuk generasi di masa depan. Pola ini disebut Environment, Local People and Future atau ELF.

Jusman Dalle


http://suar.okezone.com/read/2012/02/27/58/582948/58/membangun-ekonomi-berkelanjutan

0 komentar:

Posting Komentar