Kekerasan Anak, Salah Siapa

Kekerasan Anak, Salah Siapa


Masyarakat, beberapa waktu lalu, dikagetkan dengan berita yang datang dari Depok, Jawa Barat. Publik bukan saja terkejut, tapi sekaligus geram bercampur rasa pilu dan prihatin.

Seorang siswa sekolah dasar (SD) ditikam teman sekolahnya dengan senjata tajam di Perumahan Cinere Indah, Depok, Jabar. Tersangka kesal, sebab korban Syaiful Munip meminta kembali telepon seluler yang dicurinya.

Sebelumnya, korban dijemput tersangka, AMN, di rumahnya. Tersangka kemudian menusuk Syaiful hingga delapan kali. Korban ditemukan bersimbah darah di dalam selokan di perumahan itu [baca: Siswa SD Ditikam Temannya].

Hingga Selasa lalu, Syaiful masih dirawat intensif di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk pemulihan 15 luka tusukan. Kondisi kesehatannya terus membaik. Namun, ia masih membutuhkan penanganan serius untuk trauma atas tindakan kekerasan yang dialaminya.

Tetangga tersangka kaget mendengar kabar bahwa AMN yang masih 13 tahun itu bisa berbuat begitu sadis. Padahal sehari-hari bocah itu dikenal berperilaku baik. Tapi menurut rekan sekolahnya, tersangka terkenal nakal dan kerap meminta atau bahkan mencuri uang temannya sendiri.

Terlepas dari semua itu, kini yang tersisa hanya pertanyaan-pertanyaan. Kok, bisa anak seusia itu bisa berlaku keji pada temannya sendiri? Ada hal apa yang terjadi pada tersangka? Apalagi penusukan yang dilakukannya bukan hanya sesuatu yang hanya bermaksud melukai, tapi seperti berniat untuk menghabisi nyawa. Lebih menyesakkan lagi karena setelah melakukan hal tersebut dia berinisiatif membuang temannya di got, mungkin dengan niat agar tidak diketahui orang.

Profesor Dr. Meutia Hatta, pakar pendidikan, berpendapat hal ini lantaran pengaruh dari tantangan masa kini. Kekerasan yang masuk tak bisa dibendung dengan baik sehingga bagian budaya kekerasan masuk ke dalam diri anak. "Mereka jadi hidup dalam situasi seperti itu," katanya.

Sedangkan sosiolog Robertus Robert menanggapi maraknya perbuatan kriminal dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, berkaitan erat dengan kondisi keluarga. Faktor lainnya adalah pengaruh tayangan kekerasan di media massa.

Apa yang terjadi pada AMN yang diketahui tidak memiliki riwayat perilaku kekerasan terhadap orang lain mungkin adalah bentuk kekerasan impulsif. Kekerasan impulsif adalah suatu reaksi yang tidak terkontrol, yang mempunyai potensi melukai orang lain yang terjadi setelah peristiwa yang dianggap membahayakan individu yang melakukan kekerasan.

Pada kasus ini kejadian yang memicu adalah ketahuannya tersangka oleh korban mencuri HP miliknya. Ketakutan atau rasa malu membuat tersangka berbuat nekat dan impulsif dengan melukai korban. Namun Yang tidak masuk akal adalah ada kesan hal yang dilakukan tersangka adalah untuk menghabisi nyawa korban agar perbuatan tersebut tidak menyebar. Kalau ini yang benar terjadi sungguh sangat menyesakkan jika kekerasan seperti ini bisa terjadi pada diri anak yang masih sangat muda itu.

Meski pada banyak kasus kekerasan impulsif oleh anak biasanya masalah pemicunya sepele, reaksi perilaku yang diberikan anak yang mengalami masalah ini terkadang lebih dari yang dibayangkan. Menendang, memecahkan barang-barang, memukul dan melukai diri sendiri adalah sebagian reaksi perilaku yang dilakukan oleh anak yang melakukan kekerasan impulsif. Selain itu berteriak, memaki, bicara kasar dan kotor atau vulgar adalah reaksi verbal yang juga sering dilakukan oleh anak yang mengalami hal ini.

Pertanyaannya adalah, di mana si anak belajar melakukan ini? Patut dipertanyakan pula dari mana tersangka memperoleh pisau yang dipakai untuk menusuk? Apakah ini sesuatu yang direncanakan ? Bagaimana juga tersangka bisa begitu tega menusuk korban berulang kali lalu membuangnya ke got?

Hal lain yang sangat mencengangkan adalah pengakuan tersangka. Kabarnya tersangka mengaku jika yang dilakukannya adalah hasil meniru adegan kekerasan di film yang ditontonnya di televisi. Jika itu benar, betapa besarnya efek yang ditularkan lewat film yang mungkin tidak pas ditonton oleh anak-anak. Contoh kekerasan lewat penggambaran yang realistis di film-film akan membuat memori yang abadi di kepala si anak. Anak tanpa sadar telah tercuci otaknya dengan film-film tersebut.

Anak adalah seorang peniru ulung. Segala gerak geriknya pada awal masa kehidupan didapatnya dari meniru orang di sekitarnya. Orangtua dan keluarga adalah tempat belajar pertama kali. Selanjutnya lingkungan akan berkontribusi lebih banyak lagi dalam membuat si anak belajar hal-hal baru termasuk dalam mengungkapkan perasaan dan berperilaku.

Kejadian yang sangat memilukan ini memang mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan. Pihak yang merasa terpanggil untuk mencermati dan ikut serta memberikan solusinya adalah Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh mengatakan, penanganan siswa penusuk temannya tetap harus dilakukan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak.

Menurut dia, tindak pidana penganiayaan dan penusukan yang dilakukan tersangka merupakan tindakan melawan hukum dan tidak dibenarkan, sekalipun pelakunya anak-anak. Hanya saja, penanganan kasus tersebut, tentu tidak boleh disamakan dengan penanganan kasus serupa yang pelakunya orang dewasa.

Niam menjelaskan, ketika ada benturan antara hak korban dan hak pelaku, maka harus didahulukan hak korban, termasuk jika korban menghendaki penyelesaian lewat jalur hukum.

"Jika pilihan penanganannya melalui jalur hukum, berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum dan rasa keadilan korban, maka harus dipastikan bahwa prosesnya tetap menjamin hak-hak dasar anak terpenuhi," katanya.

Namun, lanjutnya, jika korban memaafkan, meski dengan syarat-syarat tertentu semisal pertanggungan biaya dan sejenisnya, hal ini bisa ditempuh dengan tetap memberi perhatian khusus kepada anak pelaku untuk kepentingan rehabilitasi. Menurut dia lagi, keluarga pelaku perlu didorong untuk bertanggungjawab dan meminta maaf kepada korban dan keluarganya.

Ketua Komnas PA Aris Merdeka Sirait menyatakan kepolisian perlu memberikan ganjaran yang tepat kepada tersangka. Solusinya adalah pelaku direhabilitasi, tapi proses hukum pidana tetap berjalan. Jadi, jika hakim memvonisnya satu tahun penjara maka dia ditempatkan bukan di penjara, melainkan di panti sosial.

Aris menilai kepolisian tidak dapat menerapkan Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) terhadap pelaku tanpa mempertimbangkan usianya. Aris juga menegaskan bahwa panti sosial lebih memenuhi syarat untuk memberi hukuman pada pelaku. Panti sosial dinilai dapat membina mental dan pola pikir pelaku yang masih di bawah umur.

Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi, mengatakan, meski telah melakukan kesalahan, pelaku perlu mendapat pendampingan karena masih dibawah umur. Karena itu, Komnas PA akan memberikan pendampingan kepada pelaku penusukan itu.

Menurut Kak Seto, kenekatan pelaku menusuk temannya sendiri ini menjadi catatan tersendiri. Bisa jadi tersangka merupakan korban dari situasi yang tidak kondusif dalam keluarganya. Hal ini bisa dilihat dari kondisi orangtua pelaku yang berpisah. "Kasus ini di daerah cukup banyak karena dinamika anak dan remaja tidak mendapat ruang lagi," katanya.

Kasus-kasus kenakalan anak dan remaja sering menimbulkan pro dan kontra di antara pihak penegak hukum dan pemerhati dunia anak. Kasus yang menimpa Syaiful mendapat perhatian dari banyak pihak karena termasuk sadis untuk dikategorikan sebagai kenakalan remaja.

Dalam kacamata hukum, bukti-bukti dan keterangan dari saksi yang memberatkan tersangka adalah pintu menuju hukuman. Tapi pelaku masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur yang seharusnya mendapatkan pembinaan, bukan hukuman penjara.

Jika dilihat dari perspektif psikologi perkembangan, penyimpangan perilaku yang terjadi pada anak-anak di bawah umur dan remaja seharusnya dikategorikan pada kenakalan remaja (juvenile delinquency). Kenakalan remaja ini adalah perilaku-perilaku yang secara umum tidak dibenarkan oleh normal sosial, seperti tindak pelanggaran di rumah ataupun sekolah hingga ke ranah kriminal.

Kasus yang terjadi di Depok ini, kemungkinan besar pelaku melakukan imitasi perilaku dari media massa (koran ataupun televisi). Jika diperhatikan, nyaris semua korban pembunuhan yang diberitakan media massa ditemukan di selokan, semak-semak, atau tempat tersembunyi lainnya.

Korban sudah ada, lalu bagaimana hukuman yang pantas untuk kenakalan remaja (bahkan yang masuk kategori sadis seperti kasus ini)? Penjara bukanlah tempat pembinaan yang tepat karena seringkali dari penjaralah anak-anak belajar tentang kejahatan yang lain. Pelaku seharusnya diberikan pembinaan dari profesional seperti psikolog atau konselor.


http://berita.liputan6.com/read/380147/kekerasan-anak-salah-siapa

0 komentar:

Posting Komentar