Sudahkah Pembangunan Berada di Rel yang Benar dan Mencapai Sasaran

Sudahkah Pembangunan Berada di Rel yang Benar dan Mencapai Sasaran

 
Indonesia terus membangun. Siapapun pemimpin negeri ini harus tetap berkomitmen untuk membangun. Sejak kita merdeka tahun 1945 proses pembangunan sudah dimulai dan sampai sekarang terus berlangsung. Menjadi pertanyaan kita semua apakah arah pembangunan Indonesia sudah benar dan mencapai sasaran serta tujuannya? Apakah pembangunan kita sudah berhasil memenuhi harapan sebagian besar rakyatnya? Apa kriteria yang dapat dipakai untuk mengukurnya?

Pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengelolaan sumber daya alam (SDA)  dan lingkungan (L) untuk memenuhi kebutuhan (needs) manusia agar hidupnya sejahtera lahir dan batin. Kesejahteraan memiliki arti peningkatan kualitas hidup dan kehidupan yang ditandai dengan tercukupinya kebutuhan dasar (basic needs) manusia, meliputi pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan dan energi. Adapun pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia generasi saat ini tanpa mengurangi terpenuhinya kebutuhan manusia di masa yang akan datang dengan tanpa merusak/menurunkan fungsi kelestarian lingkungan (WCED, 1987).

Ide pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul tahun 1972 pada KTT tentang Pembangunan & Lingkungan di Stockholm (Swedia) yang disponsori oleh PBB. Konsep pembangunan berkelanjutan selanjutnya disempurnakan oleh Munasinghe (1993) yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan proses pengelolaan SDA dan L untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup dan kehidupannya sejahtera (lahir dan batin) dengan berorientasi pada tiga dimensi tujuan utama pembangunan yang harus dirancang secara bersamaan, yaitu dimensi ekonomi, sosial dan ekologi.

Dimensi ekonomi bermuara pada tercapainya pertumbuhan (growth) ekonomi masyarakat yang positif, dimensi sosial bermuara pada tercapainya stabilitas dan harmonisasi sosial (tanpa konflik), sedangkan dimensi ekologi bermuara pada tetap terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan (ekosistem) sebagai modal pembangunan maupun sebagai habitat dari makhluk hidup yang ada di dalamnya yang saling berinteraksi. Dengan demikian, amanat pembangunan adalah menjamin tercapainya tingkat hidup dan kehidupan rakyat (masyarakat dalam arti luas) yang sejahtera (lahir dan batin), baik secara ekonomi, sosial dan ekologi (lingkungan)

Kebijakan Pembangunan di Indonesia:
A. Era Orde Lama

Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang sudah berlangsung hampir 66 tahun. Bila kita putar ulang sejarah, pada era 1945 – 1965, disebut era orde lama yang dipimpin oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno pembangunan Indonesia pada saat itu baru dititikberatkan pada pembangunan stabilitas ideologi. Saat itu, terjadi perang antara paham ateis dan paham agamis. Yang akhirnya, alhamdulillah, dimenangkan oleh paham agamis. Ketidakstabilan terlihat dengan munculnya banyak partai politik. Muncul banyak pemberontakan akibat kondisi masyarakat yang semakin melarat, terutama di daerah.

Pada zaman ini, kondisi perekonomian masyarakat benar-benar terpuruk. Harga bahan pokok melonjak sangat tinggi, masyarakat tidak mampu membeli beras sehingga terpaksa makan bulgur dan memakai baju dari karung. Menurut Emil Salim, laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI, sangat teramat tinggi sepanjang sejarah. Indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali. Harga beras mengganas naik 824 kali. Begitu pula harga tekstil naik 717 kali. Sementara nilai rupiah sekarat dari Rp160 saja menjadi Rp120 ribu per satu dolar AS.

Angka-angka itu cukup menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Ditambah lagi tragedi pergolakan politik nasional yang berpuncak pada Gerakan 30 September/PKI, yang membuat bangsa ini dalam kondisi chaos. Dengan demikian pemerintahan orde lama tidak berhasil (gagal) mengemban amanat pembangunan untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya.

B. Era Orde Baru

Era selanjutnya adalah era 1966-1998, disebut juga sebagai era orde baru yang dipimpin oleh Presiden RI kedua Soeharto. Pada saat itu, pemerintahan orde baru dinilai telah berhasil menyelamatkan bangsa ini dari krisis. Menurut Emil Salim, pada kuliah program sejarah lisan Indonesia (1965-1971) di CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Jakarta, Agustus 1999, ada lima kebijakan yang dianggap manjur dalam upaya pemulihan ekonomi kala itu. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir. Selain itu, juga digulirkan kebijakan jitu lainnya saat itu, yakni deregulasi dan debirokratisasi (Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967, dan seterusnya). Kemudian, pemerintah juga membuka kran penanaman modal asing, secara bertahap.

Kebijakan-kebijakan itu sangat berhasil menjinakkan liarnya laju inflasi. Inflasi turun drastis dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966) menjadi 100 persen (1967), dan 50 persen (1968). Bahkan sudah terkendali di angka 13 persen (1969). Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja, pemerintahan orde baru mengundang penanaman modal asing. Pemerintahan orde baru memusatkan diri pada pembangunan ekonomi, tanpa mengabaikan bidang-bidang lain, misalnya politik dan sosial.

Pada era ini muncul konsep Trilogi Pembangunan, yaitu model pembangunan yang berorientasi pada tiga aspek penting, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Trilogi pembangunan adalah wacana pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan orde baru sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara. Pemerintah menyusun pembangunan  dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan bagi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan dijabarkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dilaksanakan dalam bentuk Pembangunan Lima Tahun (Pelita).

Selama 32 tahun memerintah, Pak Harto secara teratur dan konsisten melaksanakan program Pelita demi Pelita. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi bergerak dengan cepat rata-rata 6,8 persen per tahun. (baca: Pak Harto Membangun Indonesia). Pada tahun 1984 Indonesia diakui oleh PBB berhasil berswasembada beras, angka kemiskinan menurun, indikator kesejahteraan rakyat makin membaik seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, serta industrialisasi meningkat pesat.

Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat Keluarga Berencana (KB) dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah. Dengan pendekatan keamanannya yang menonjol dalam konsep trilogi tersebut, Indonesia dinilai berhasil menjaga stabilitas keamanan negara dan ketertiban masyarakat serta mendorong pertumbuhan makro ekonomi secara perlahan naik positif. Namun, secara mikro ekonomi sebaliknnya, karena prinsip ketiga dari konsep trilogi tersebut, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya tidak terjadi. Kue ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang (sekompok kecil konglomerat yang dekat dengan pusat kekuasaan), sedangkan masyarakat kecil yang jauh dari kekuasaan kondisinya semakin melarat.

Konsep trickle down effect (efek menetas ke bawah) yang dijanjikan oleh pemerintah (pusat) tidak terjadi di daerah. Kesenjangan ekonomi antar-daerah, antar-golongan pekerjaan dan antar-kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri juga terus menumpuk. Pembangunan telah menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi mikro, dan sosial masyarakat yang adil.
Dengan demikian pada orde baru meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi (secara makro), tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Sejalan dengan hal tersebut, laju kerusakan SDA dan pencemaran lingkungan terus terjadi yang ekskalisinya cenderung terus meningkat dan meluas. Ujung-ujungnya pembangunan Indonesia pada era orde baru tidak berkelanjutan, baik secara ekonomi, politik, sosial maupun ekologi (lingkungan). Dengan kata lain pemerintahan orde baru juga gagal mengemban amanat pembangunan untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya.

C. Era Orde Reformasi

Setelah berakhirnya orde baru, muncullah orde reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998 sampai saat ini (2011) telah mengalami pergantian empat kali pemerintahan dan empat presiden. Orde ini pun banyak dipengaruhi oleh tekanan politis serta euforia masyarakat mengenai kebebasan mengemukakan pendapat dan berdemokrasi. Berkaca pada orde sebelumnya, yang kolaps disebabkan antara lain karena utang luar negeri, yang pada saat itu besarnya utang luar negeri saja telah mencapai lebih dari tiga kali APBN setahun, sehingga beban pembayaran cicilan dan bunga utang sangat besar.

Selama 11 tahun terakhir, negara telah membayar utang sebesar Rp1.596,1 triliun dan 54 persen di antaranya atau sekitar Rp864,67 triliun adalah untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo. Jumlah keseluruhan pembayaran utang pemerintah tersebut lebih dari 7,8 kali penerimaan APBN 2000, 4,7 kali penerimaan APBN 2003, 2,5 kali penerimaan APBN 2006, dan 1,6 kali penerimaan APBN 2010. Jumlah ini juga hampir menyamai jumlah utang negara tahun ini Rp1.667,7 triliun. Sedangkan total pembayaran bunga utang pemerintah lebih besar dari anggaran penerimaan pajak tahun ini Rp743,3 triliun.

Meski Indonesia telah membayar utang sebesar Rp1.667,7 triliun selama 11 tahun terakhir, utang Indonesia tidak turun, tapi justru membengkak dari jumlah utang pada tahun 2000, yakni Rp1.235 triliun. Bahkan, jika dibandingkan jumlah utang pemerintah tahun 1998 sebesar Rp553 triliun, jumlah utang pemerintah Indonesia tercatat Rp1.695 triliun atau naik Rp17,13 triliun dibanding akhir 2010. Bila dikonversi ke dollar Amerika Serikat, utang Indonesia mencapai US$ 187,19 miliar. Jika dibagi jumlah penduduk Indonesia 237,556 juta jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, maka setiap penduduk Indonesia memikul utang negara sebesar Rp7 juta.

Selama 11 tahun berlangsungnya orde reformasi kinerja pembangunan Indonesia tampaknya hanya jalan di tempat, bahkan cenderung mundur, terutama jika dilihat dari dimensi sosial dan ekologi (lingkungan). Konflik sosial secara horisontal lebih kerap terjadi dan hampir merata (menyebar di seluruh wilayah Indonesia).

Belum lagi mental korupsi yang sudah berakar di semua lapisan, pemerintah saat ini belum mampu menumpas secara keras oknum-oknum korupsi tersebut. Sehingga keberlanjutan yang terjadi di Indonesia adalah keberlanjutan korup dan utang. Demikian pula pencemaran lingkungan dan kerusakan berbagai tipe ekosistem, baik di darat maupun di perairan telah terjadi makin sering dan meluas. Hal tersebut dapat dilihat dari makin seringnya terjadi bencana ekologis berupa banjir dan longsor yang terjadi hampir di seluruh wilayah (pelosok) Indonesia. Demikian, amanat pembangunan yang dijalankan pada era reformasi ini juga belum berhasil dijalankan dengan baik. Sisa waktu tiga tahun pemerintahan SBY mampukah diselesaikan dengan baik?

Penutup

Pada kenyataannya, pembangunan yang dijalankan di Indonesia selama ini sejak pemerintahan orde lama, orde baru sampai dengan orde reformasi dirasakan masih belum bahkan dapat dikatakan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable develompent), baik dari sisi ekonomi, sosial maupun ekologi. Banyak hal yang dapat dijadikan bukti atas kegagalan Indonesia dalam menjalankan pembangunan berkelanjutan.

Kerusakan hutan merupakan salah satu indikator dari tidak dijalankannya konsep pembangunan berkelanjutan, yang tidak memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang. Saat ini kerusakan hutan di Indonesia sangat parah. Dari 112 juta hektar hutan di Indonesia saat ini kerusakan mencapai 59,2 juta hektar atau 2,83 juta hektar per tahun. Kerusakan hutan sebesar ini sangat parah. Kalau dibiarkan dan tidak ada aksi apa-apa maka dalam 10-15 tahun mendatang Indonesia menjadi negara yang tidak berhutan.

Dengan kerusakan seluas itu, sekarang dampaknya sangat terasa. Waduk yang dibangun dengan biaya yang sangat mahal di pulau Jawa sekarang mengalami penurunan umur (daya tahan) waduk dari yang seharusnya 100 tahun tinggal 50 tahun. Sawah-sawah yang dulu tidak kekeringan, sekarang banyak yang kekeringan. Sungai-sungai menjadi tidak normal, ketika musim hujan banjir, ketika musim kemarau kering. Dampak langsung dengan adanya kerusakan hutan ini adalah turunnya produksi pertanian. Input apapun yang dilaksanakan tidak akan berarti bila tidak ada air.

Jadi dampak kerusakan hutan sangat berpengaruh pada produksi padi. Indonesia pada zaman Orde Baru sempat menjadi negara pertanian yang didukung oleh industri yang seharusnya tangguh melalui program PJP1. Pemerintahan sekarang (orde reformasi) seharusnya mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara industri yang tangguh yang didukung oleh pertanian yang tangguh juga. Semoga ke depan dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governence) dengan aparatnya yang juga bermental baik serta didukung oleh rakyat Indonesia yang semakin berkualitas, cerdas dan sadar hukum (madani) suatu saat Indonesia akan bangkit menjadi negara maju yang tangguh yang mampu menjalankan amanat pembangunan berkelanjutan secara baik pula. Mari kita semua berusaha dan berdo’a. Amin.

Surjono Hadi Sutjahjo
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB dan Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB


http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/05/29/168/Sudahkah-Pembangunan-Berada-di-Rel-yang-Benar-dan-Mencapai-Sasaran?

0 komentar:

Posting Komentar