Implementasi Pengelolaan DAS Terpadu

Implementasi Pengelolaan DAS Terpadu 

 
Intensitas hujan yang tinggi membuat bencana alam yang tidak kunjung reda. Bencana itu berdampak pada kerusakan lingkungan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya bencana, seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat. Banjir menjadi langganan di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Semarang, Kapuas Hulu, Wasior Papua Barat, Pesisir Selatan, Pasaman Barat, Agam, Padang Pariaman, Kota Padang dan berbagai tempat lain. Bencana itu telah banyak menelan korban jiwa dan harta.

Bencana karena air terjadi lantaran sebagian besar DAS (Daerah Aliran Sungai) yang ada saat ini, baik di Jawa maupun di luar Jawa, sudah mengalami kerusakan dan degradasi secara fisik, biologis maupun kesesuaian ruangnya, sehingga fungsi hidrologis DAS tidak berjalan. Dimana letak kesalahannya?

Kondisi Saat Ini

Menurut UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Sedangkan Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian DAS serta kesejahteraan masyarakat. (PP 76/2008 Pasal 1).

Dalam ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Oleh karenanya, pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Makin rusaknya kondisi DAS saat ini antara lain disebabkan tidak adanya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Padahal, secara konseptual sudah ada dan dibahas sejak tahun 1980-an yang dimotori oleh Departemen Kehutanan dan Departemen Pekerjaan Umum saat itu. Kenyataannya tidak jalan. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang bertolak belakang.

Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan. Daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang terletak pada lintas kabupaten/kota dan lintas  provinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS ke depan, konsep pengelolaan DAS secara terpadu yang sudah ada selama ini perlu dievaluasi lagi dan direvitalisasi supaya betul-betul dapat diimplementasikan.

Pengelolaan DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh, mulai keterpaduan kebijakan, penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan dan hukum. Dengan kata lain, pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan kajian integratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang ada, upaya pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam skala DAS secara efektif dan efisien. Peran dan keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah sangat penting ditingkatkan.

Selama ini ada kerancuan dalam mengartikan sasaran program pengelolaan DAS, yaitu hanya semata-mata didasarkan pada hubungan-hubungan yang bersifat fisik (physical interrelationships). Bahkan ada kecenderungan pengelolaan DAS dipersepsikan sebatas program konservasi lingkungan fisik, seperti hutan, tanah dan air (utamanya didaerah hulu) dan bukan sebagai pengelolaan DAS yang bertujuan untuk tercapainya keberlanjutan ekosistem DAS (Watershed ecosystem sustainability). Misalnya, dalam program penghijauan, gerakan menanam pohon sampai se-miliar pohon, apakah sasaran yang dicapai adalah untuk stabilitas lahan miring yang mengalami degradasi? Ataukah sebagai pembuktian politis kepada dunia bahwa Indonesia turut berperan aktif dalam penyerapan karbon?

Bila hanya dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya dengan tujuan penyerapan karbon, tentu saja tidak dapat menyelesaikan inti masalah yang ada, yaitu mengatasi banjir dan longsor. Dalam menentukan sasaran kegiatan, khususnya pengendalian banjir dan longsor, perlu dibedakan sasaran-sasaran kegiatan yang akan dihasilkan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Perlu juga diidentifikasikan dampak-dampak negatif yang akan terjadi dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang tersebut, sehingga tindakan penanggulangan dan pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin.

Beberapa pengalaman di lapangan menunjukkan, program penghijauan yang dilaksanakan dengan cara membayar petani untuk menanam pohon menghasilkan persentase tumbuh pohon penghijauan relatif kecil (umumnya kurang dari 50 persen). Apalagi jika pohon-pohon yang ditanam secara sembarangan, bukan oleh ahlinya, dan dengan tujuan politis tertentu. Untuk mengatasi masalah ini, disarankan agar petani tidak dibayar untuk menanam pohon, tapi dibayar dalam periode waktu tertentu, misalnya 6-12 bulan setelah penanaman. Selama tahun kedua, mereka dibayar kembali (sekian rupiah) untuk setiap pohon yang masih dapat bertahan dan begitu seterusnya pada tahun ketiga. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan jumlah pohon yang tetap hidup dilapangan.

Kerusakan DAS juga dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumber daya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar­sektor, antarwilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah yang pengelolaan sumber daya alam pada DAS lebih diorientasikan pada peran economic development dan mengabaikan wawasan lingkungan, sumber daya alam ditempatkan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Harapan ke depan

Pendekatan pengelolaan DAS tidak bisa dilakukan hanya oleh satu sektor atau satu disiplin ilmu, melainkan harus multi­pihak yang bersifat inter­disipliner. Koordinasi penanganan DAS oleh para pihak selama ini belum terbangun secara optimal sebagai akibat belum samanya persepsi mengenai interdependensi seluruh komponen dalam DAS, sehingga perlu ada penyamaan persepsi di antara para pihak tentang pengertian, permasalahan dan konsep pengelolaan DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem yang utuh.

Untuk itu, mengingat kondisi 121 DAS di Indonesia dalam kondisi yang rusak parah, sudah saatnya pengelolaan DAS dipayungi oleh payung hukum yang jelas, yaitu berupa peraturan pemerintah/PP pengelolaan DAS terpadu. Hal ini menjadi penting, karena dengan meningkatnya legalitas pengelolaan DAS menjadi PP dapat membuat keterpaduan antar pihak/stakeholders dalam melakukan pengelolaan DAS menjadi lebih jelas peran dan kontribusinya.

Selama ini, sejumlah instansi, misalnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Kehutanan, mengklaim memiliki hak dalam pengelolaan DAS. Maka muncullah pembagian pengelolaan DAS hanya berdasarkan pandangan sektoral, bukan secara terpadu. Kementerian Kehutanan dipandang hanya melakukan upaya konservasi di hulu DAS, sedangkan sektor lain (Kementerian PU) melakukan pemanfaatan DAS di tengah dan di hilir, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sungainya saja, sedangkan ekosistemnya tidak dipikirkan.

Hal ini menimbulkan ego-sektoral, membagi DAS dalam berbagai kepentingan instasi yang pengelolaannya dilakukan sendiri-sendiri. Dengan adanya PP DAS Terpadu, diharapkan pengelolaan DAS akan berlangsung terpadu dengan melibatkan semua sektor dan para pihak yang saling berkepentingan. Dalam hal ini peranan Kementerian Lingkungan Hidup di tingkat pusat untuk menjadi koordinator dan fasilitator dalam mensinkronkan peran Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kehutanan sangat penting dimasukkan dalam PP tersebut. Adapun di daerah peran Pemerintah Daerah yang wilayahnya masuk dalam areal DAS harus menjadi aktor utama. Dalam hal areal DAS berada pada lintas beberapa wilayah administrasi, maka peran dan fungsi serta konstribusi antar masing-masing pemerintah daerah harus dinyatakan secara jelas dalam PP tersebut sebagai bentuk kerjasama antar wilayah.

Dengan adanya payung hukum yang kuat dan keterpaduan antar sektor pengelola DAS, diharapkan kedepan, kondisi DAS dapat diperbaiki dan bencana yang terjadi akibat air (kerusakan DAS) dapat dihindari.


http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2012/02/19/248/Implementasi-Pengelolaan-DAS-Terpadu-

0 komentar:

Posting Komentar