Budayakan Etika Lawan Korupsi

Budayakan Etika Lawan Korupsi


Keberhasilan negeri ini bangkit dari keterpurukan mendapatkan pengakuan dari negara-negara di dunia. Apa lagi, Bank Dunia menyebut Indonesia ikut andil dalam membantu mendorong separuh pertumbuhan ekonomi global hingga 2025, bersama Brazil, Tiongkok, India, Korea Selatan dan Rusia. Namun, sangat disayangkan ketika keberhasilan yang memuncak tercipta, justru melahirkan permasalahan baru. Permasalahan korupsi yang terjadi dan tak kunjung selesai. Permasalahan ini bagaikan teroris yang terus mengancam akan meledakkan bom setiap saat tanpa mengenal waktu dan tempat.

Pernyataan perang melawan korupsi yang dilontarkan Presiden SBY, terkesan diabaikan dan tidak mengandung arti yang penting. Apa lagi,  pernyataan tersebut justru dijadikan bommerang bagi dirinya dalam pemberantasan korupsi.  Lawan politik SBY pun, memanfaatkan moment isu korupsi yang saat ini menghantui di tubuh partai yang dipimpinnya untuk menjatuhkan kredibilitas dirinya.

Tingginya angka korupsi di negeri ini  tercatat sebagai angka yang menjadi momok menakutkan. Ditinjau  dari realitas yang ada, maka timbul sebuah pertanyaan penulis, akankah negeri ini mewariskan budaya korupsi?
Surga Koruptor

Saat ini, Indonesia menduduki tingkat korupsi tertinggi di dunia. Tingkat  korupsi ini, dibuktikan dari hasil yang dilakukan Transparency International (TI). Indonesia menempati angka 2,8 dengan rangking 110 dari 178 negara pada tahun 2009 dan angka 2,8 dengan rangking 110 dari 180 negara terkorup pada tahun 2010. Sedangkan Political and Economic Risk Consultantcy Ltd (PERC), menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia yang berada di bawah Vietnam dan Filipina. Dengan tingkat korupsi 8,32 pada tahun 2009 dan 9,10 pada tahun 2010.

Jika kita lihat fakta kenyataan yang ada, memang tak dipungkiri lagi. Korupsi, terkesan sudah mendarah daging dan bagaikan sesuatu yang tak dapat dipisahkan bagi penyelengara negara. Katakan lah badan atau lembaga apa yang kurang di negeri ini untuk mengatasi dan mencegah tindakan korupsi. Bahkan, lembaga pengawasan berlapis pun tak mampu membendungnya.

Di internal kelembagaan, ada inspektorat yang mengawasi,  BPK, BPKP, yang lebih luas ada KPK, serta lembaga-lembaga lainnya di eksternal kelembagaan yang terus menerus mengobarkan semangat anti korupsi. Namun, kenyataan dilapangan lembaga-lembaga tersebut belum mampu mengatasi korupsi yang begitu tinggi. Keberadaan partai politik pun terkesan menjadi bagian dari rantai korupsi.

Pemberian hukuman yang begitu ringan pun kerap dilakukan untuk para koruptor. Tak mengherankan ada sebuah istilah yang berkembang ditengah masyarakat “HABIS KORUPSI TERBITLAH GRASI”. Fakta ini lah yang terus menerus menyelimuti penegakan hukum dan menjadikan bumi tercinta ini surga bagi koruptor. Berbagai contoh terus menjadi cambukan penegakan hukum. Namun, itu semua tak menjadikan korupsi sesuatu yang diharamkan. Justru, korupsi dijadikan sebagai penyemangat.

Padahal, jika kita menoleh kebelakang, peraturan pertama yang ditandatangani SBY setelah dirinya terpilih dipemilihan presiden tahun 2004, adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Selain itu, Presiden pada awal gebrakannya  telah menandatangani 138 izin pemeriksaan bagi penyelenggara negara.  Saat ini, terkesan aturan tersebut terabaikan. Bahkan, kasus korupsi yang melibatkan kader partainya pun terkesan disangkut pautkan dirinya.

Tindakan korupsi yang dilakukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) hingga yang berlindung di balik jubah partai pun, kerap diberitakan di berbagai media. Jumlah ini, bukannya semakin berkurang, justru semakin meningkat dari hari ke hari. Reformasi yang diharapkan menuju Indonesia lebih baik, ternyata tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Reformasi,  justru dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan oleh mereka yang berada di dalam garis kepartaian. Rakyat dijadikan tumbal dalam mencapainya, segala sesuatunya mengatasnamakan rakyat.

Pemberantasan korupsi, bagaikan angan-angan  yang tak akan pernah terwujud. Terkesan, politisi memanfaatkan kekuatan politik untuk melegalkan kekuasaan dan keuntungan, banyaknya politisi yang terbentur permasalahan hukum pun terkesan terlindungi.

Mereka yang seharusnya menjadi panutan rakyat, justru menjadi hujatan rakyat. Dari penyelengara negara tingkat pusat hingga daerah, penegak hukum baik di kepolisian maupun dipengadilan, sampai politisi yang tergabung dalam wakil rakyat pun tak mau ketinggalan. Mereka berbondong-bondong berurusan dengan hukum. Meski sudah banyak yang menjalani hukuman, anehnya tak ada kejerahan bagi yang lain untuk mengakhiri perbuatan yang tak bermoral ini.

Penekanan Etika

Merujuk Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index - CPI) tahun 2011 untuk Indonesia yang diterbitkan oleh Transparency International yang bertujuan melawan tindakan korupsi bahwa CPI untuk Indonesia sebesar 3, dimana peringkat yang digunakan adalah 0 - 10 dengan nilai 0 adalah sangat korup dan nilai 10 adalah negara tersebut dianggap bebas dari korupsi.

Mengutip survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) mendapatkan hasil, rakyat Indonesia berpandangan bahwa parpol dan DPR merupakan lembaga yang sangat korup. Maka wajar bila parpol merupakan organisasi yang paling bertanggung jawab atas perilaku koruptif. Tingkah laku elit politik saat ini menunjukan kebodohan yang ditunjukan dirinya kepada rakyat, politisi terkesan mengambinghitamkan pemerintah dalam setiap permasalahan hukum, terutama yang berbau korupsi. Kesan ini sengaja ditimbulkan untuk menarik simpatik dari rakyat dan membenci pemerintah. Tujuannya, agar rakyat tidak mempercayai pemerintah dan beranggapan pemerintah telah gagal.

Langkah pemberantasan korupsi yang didengungkan SBY pun digambarkan sebagai sebuah pencitraan oleh lawan politik dirinya. Pada hal SBY tidak perlu melakukan pencitraan. Dirinya dengan pasti tidak akan maju kedalam pemilihan presiden 2014 berdasarkan aturan dan ketentuan undang-undang yang berlaku di negeri ini. 
Keseriusan SBY dalam memerangi korupsipun terpancar jelas  ketika dirinya meminta agar pimpinan Partai Demokrat menindak tegas kepada para kader yang layak diberi sanksi. Pernyataan ini, berkaitan dengan banyaknya isu, mulai dari korupsi hingga perpecahan internal yang melanda Demokrat akhir-akhir ini.

Jika kita merujuk Gustavo GutiĆ©rrez Merino (1971) yang menitik beratkan pada penanaman nilai-nilai etika dalam menjalankan birokrasi. Dirinya, menjelaskan bahwa pendidikan anti-korupsi mengharuskan adanya tiga langkah. Pertama, pembebasan politik dan sosial yang mengukuhkan tindak korupsi. Kedua, emansipasi dan partisipasi seluruh masyarakat sebagai korban tindak korupsi untuk membenci dan mengalienasi para koruptor. Ketiga, pembebasan dari egoisme dan dosa dengan mendekatkan Tuhan ke bumi. Etika yang menjunjung tinggi nilai KETUHANAN dalam bertingkah laku didalam menjalankan amanah rakyat. Penanaman etika ini menjadikan sasaran terciptanya sebuah keadilan didalam masyarakat,  dengan adanya batasan pemisahan antara penegakan hukum dan kepentingan politik.

Dari pernyataan tersebut, dapat kita ambil sebuah manfaat untuk membangun Indonesia bebas dari korupsi, diperlukan sebuah etika. Penanaman etika ini bertujuan agar tindakan korupsi tidak dijadikan warisan budaya bangsa. Pemikiran ini, merupakan  sebuah langkah yang tepat untuk memperbaiki negeri ini, dalam memerangi korupsi.  Jika penanaman etika ini terbentuk, penulis harapkan terciptanya penegakan hukum dan kesejahteraan bagi rakyat. Korupsi yang terjadi selama ini, telah menghancuran sendi-sendi kehidupan, bukan hanya sebatas  perekonomian semata, tetapi mampu merubah budaya yang ada di masyarakat.


http://suar.okezone.com/read/2012/03/07/58/588577/membudayakan-etika-melawan-korupsi

0 komentar:

Posting Komentar