Kembalikan Marwah Negara (Hukum)

Kembalikan Marwah Negara (Hukum)


Negara ini adalah negara, Rechtsstaat yang berdiri tegak di atas empat pilarnya; Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika. Demikian taklimat yang selalu ditegaskan kepada setiap anak negeri. Bahkan, semasa orde baru dulu, setiap peserta didik dari tingkat TK (taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi, diwajibkan mengikuti pelajaran PPKN dan penataran P4. Itu dulu. Kini?

Dikhianati

Semboyan dan pilar itu hanya umpama mata pisau; tajam menikam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Rakyat jelata semakin sengsara. Pejabat negara semakin kaya raya. Dan, korupsi pun semakin menggurita. Hasil survei Transparency Internasional Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara terkorup. Hasil survei menekankan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).

Dengan data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas pencegahan manusia dari perbuatan tercela, apakah itu “corruption by needs” (korupsi karena kebutuhan), “corruption by greeds” (korupsi karena keserakahan) atau “corruption by opportunities” atau korupsi karena kesempatan (Harrys, 2010).

Fakta mutakhir yang sangat menyayat hati adalah diangkatnya kembali bekas terpidana kasus korupsi, Azirwan, sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Padahal, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Azirwan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 100 juta atau subsider tiga bulan penjara karena terbukti menyuap anggota Komisi IV DPR, Al Amin Nasution, terkait pembahasan alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan pada 2008. Azirwan dan Al Amin ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 8 April 2008.

Fakta tersebut, tak pelak, semakin menambah panjang pengkhiatan-pengkhianatan terhadap upaya penegakan hokum dan pemberantasan korupsi seperti yang dimanahkan oleh semboyan Rechtsstaat dan empat pilar berbangsa dan bernegara tersebut di atas. Pengangkatan itu dinilai mengkhianati komitmen terhadap asas pemerintahan yang baik dan gerakan pemberantasan korupsi.

Regulasi yang mengatur bekas narapidana tidak boleh diangkat atau dipromosikan memang tidak ada, tetapi hal itu bertentangan dengan etika kenegaraan. pengangkatan Azirwan dapat membuat para pegawai merasa tidak ada hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang pernah dilakukan. Peluang untuk menduduki jabatan tetap terbuka meskipun pernah dipidana penjara. Pertimbangan moralitas dan etika seharusnya lebih didahulukan dalam melakukan promosi jabatan, terutama bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang pernah dihukum dalam kasus korupsi. Meskipun tidak melanggar peraturan, promosi untuk bekas narapidana korupsi seharusnya dipertimbangkan dengan cermat dan bijak.

Dalam Lipatan Sejarah

Upaya memberantas korupsi di negeri yang kita cintai ini, sebenarnya sudah dimulai ketika pemerintahan Orde Lama berjalan. Dengan perangkat Undang-undang Keadaan Bahaya, dibentuk badan pemberantasan korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara yang disingkat dengan sebutan Paran. Pemimpinnya Abdul Haris Nasution dibantu dua anggota, Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Namun, ketika itu, Paran tidak mampu menunjukkan kekuatannya, karena para pejabat yang korup melakukan reaksi keras bahwa secara yuridis dan dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, setiap formulir isian tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Akhirnya keberadaan Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Kemudian, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo ditunjuk untuk memimpin lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi.

Meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya dibantu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Namun, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet. Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan lembaga ini.

Pada 16 Agustus 1967, melalui pidato kenegaraannya, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu berbuntuk dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ketidakseriusan TPK berkahir dengan keluarnya kebijakan Soeharto yang menunjuk Komite Empat beranggotakan Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto. Tugas komiter tersebut, membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tetapi, seiring perjalanan waktu, keempat tokoh itu menjadi kehilangan taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, sama sekali tidak digubris pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama, dibentuknya Operasi Tertib (Opstib) yang dipimpin Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Namun, pemberantas korupsi cenderung semakin melemahkan, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Ketika negeri ini memasuki era reformasi, Presiden RI BJ Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, membentuk berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.

Kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Tetapi, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.

Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN hilang dan menguap. KPK dibentuk tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis sampai saat ini.

Keinginan untuk memberantas korupsi jangan hanya sebatas membuat catatan-catatan bahwa di negeri ini, kita pernah membentuk badan atau lembaga apapun namanya, yang bertopengkan pemberantasan korupsi (Harrys, 2010).

Kembalikan Marwah Bangsa!

Jika kondisi seperti uraian di atas; penegakan hokum setengah hati –untuk tidak dikatakan tidak ada hati- dan upaya pemberantasan korupsi dikhianati, terus menerut terjadi. Maka, lambat laun tapi pasti, kepercayaan anak negeri ini akan tergerus hingga ke titik nadir. Tak ada gunanya pertumbuhan perekonomian (makro) yang positif hingga mendapat pujian dari luar negeri, jika fakta dan realita di dalam negeri dipenuhi sengkarut.

Prof. Mochtar Pabotinggi (Kompas, 4/10/2012) dengan tegas menulis, “suatu negara berhenti menjadi Rechtsstaat manakala para pelaksana negara dan/atau aparat hukum tak lagi mengindahkan nasion dalam paradigma demokrasi. Tanpa berpatokan pada nasion dalam konteks itu, bukan hanya yang Recht akan lenyap, melainkan Staat sendiri pun akan kehilangan induk dan tujuan dasarnya.

Tanpa induk dan tujuan dasar, negara akan menjadi liar dan seketika menjadi mangsa para perakus kuasa dan harta di dalam pemerintahan. Ia juga menjadi mangsa para pemodal besar nasional ataupun internasional yang semata-mata didikte oleh hasrat menggaruk untung sebesar-besarnya tanpa memedulikan akibat-akibat buruknya pada negara, masyarakat, dan negeri di mana mereka berkiprah.

Ketika para pelaksana negara mencampakkan nasion induknya, ketika itu pulalah negara konstitusional batal. Di situ negara kehilangan pijakan untuk memihak dan menjunjung ideal-ideal berbangsa. Begitu konstitusionalitas lenyap, kinerja politik dan hukum pun ikut meliar. Keterpaduan antara keduanya sirna. Sebab, di bawah negara tak berinduk dan nihil moralitas, baik praktik politik maupun praktik hukum tak lagi bertumpu pada Recht.

Kita tahu bahwa hampir semua pelanggaran Rechts atau penyalahgunaan kekuasaan yang menciptakan krisis multidimensi bermuara pada korupsi. Maka, pemberantasan korupsi merupakan cara paling efektif bukan hanya untuk mengakhiri krisis multidimensi itu, melainkan juga untuk menegakkan negara hukum—Rechtsstaat—dalam arti kata yang sesungguhnya. Tanpa negara hukum, nasion takkan bermartabat!

Ahmad Arif
Penulis adalah pendiri dan pemilik perpustakaan komunitas RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh


http://suar.okezone.com/read/2012/10/18/58/705642/kembalikan-marwah-negara-hukum-ini

0 komentar:

Posting Komentar