Kabinet SBY yang Kurang Kreatif

Kabinet SBY yang Kurang Kreatif


DI luar penilaian yang relatif tentang sukses tidaknya program pemerintah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dalam memberantas korupsi, kekerasan massa dan penanganan masalah Indonesia Timur, mungkin bukan hanya rakyat awam negeri ini tapi juga dunia internasional memberikan penilaian positif akan apa yang telah dicapai pemerintahan SBY di satu setengah periodenya saat ini.

Yang utama adalah stabilitas politik, sosial dan ekonomi yang memang belum ideal atau sempurna –masih memunculkan berbagai masalah dan drama yang secara umum dianggap lumrah dalam kehidupan bernegara di mana saja—dimana kita mesti jujur mengakui ada ruang-ruang terbuka bagi semua insan di negeri ini mengaktualisasikan dirinya secara penuh. Sebuah keadaan yang tidak pernah kita alami sebelumnya dengan berbagai alasan.

Aktualisasi diri manusia adalah hal dan hak dasar, yang pemenuhan kondisi-kondisinya adalah kewajiban mutlak pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pada beberapa tahun belakangan, kondisi-kondisi –walau sekali lagi belum ideal, setidaknya menurut pandangan/teori tertentu—tersebut sudah muncul, baik dalam bentuk kecambah (permulaan) hingga pada tingkat kematangan tertentu. Yang penting, setiap anak bangsa masa kini mengalami hambatan tersedikit dalam sejarah negeri ini untuk berekspresi, berkarya atau menjadi apa yang mereka secara pribadi inginkan.

Itu hal penting bukan hanya dalam proses kita bernegara, berbangsa dan juga berbudaya. Kondisi yang sayangnya masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh beberapa bagian dari bangsa itu sendiri. Dalam olahraga misalnya. Ketika campur tangan kuat pemerintah tanpa harus mengganggu independensi olahraga, ketika swasta memiliki komitmen dukungan sehingga fasilitas dan penghargaan berhambur untuk prestasi, olahraga itu sendiri masih melempem. Bahkan di sepakbola terjadi involusi (pembusukan ke dalam) yang seperti labirin tak berujung.

Semua itu, harus diapresiasi dengan jujur, dianalisis secara proporsional dan komprehensif, merupakan prestasi bagi pemerintahan. Berbagai kepala pemerintahan mendatangi negeri ini untuk memberikan apresiasi dan menyatakan minat besar menjalin hubungan lebih dan luas di bidang-bidang utama: ekonomi, keamanan, politik, dan juga kebudayaan.

Sebegitu hebatkah Indonesia? Hebatnya SBY dan kabinetnya? Ada sebuah perhitungan lain yang harus juga kita ungkapkan, dengan jujur dan proporsional.

Politik Konservatif

Banyak kritik –yang sungguh obyektif—kita dengar bagaimana misalnya, sumberdaya alam dan kultural negeri ini yang luar biasa –yang mencengangkan dunia sejak lebih satu milenium lalu—ternyata bukan saja tidak berhasil dieksplorasi secara maksimal, tapi bahkan dieksploatasi habis-habisan. Dalam beberapa kasus malah kita serahkan bulat-bulat, pada kepentingan ekonomi, politik dan kebudayaan asing. Maka kekayaan yang luar biasa itu bukan hanya tidak bisa kita nikmati secara wajar, tapi bahkan digerogoti, dilucuti, dicuri tidak dengan diam-diam, tapi persis di depan mata kita, di hadapan regulasi yang justru wakil-wakil rakyat yang kita percaya dan fasilitasi untuk berbuat sebaliknya.

Banyak pula kritik obyektif lainnya yang memperlihatkan dengan jernih dan adekuat bagaimana pemerintahan sekarang lemah bahkan terkategori gagal terutama dalam memahami realitas sosial dan kultural rakyat/bangsanya, terutama di kalangan jelata dan mayoritas anak bangsa yang berada di Timur negeri ini. Mereka seperti menjadi pengecualian dalam pengembangan hidup bersama. Mereka tak lebih dari korban dengan pembangunan yang dikuasai pemodal, penguasa dan elit di bagian Barat, yang hanya mendapatkan remah-remah hasil pembangunan dimana setengahnya diperas dari mereka (jelata dan Indonesia Timur)

Kritik-kritik itu bukan saja menunjukkan kekeliruan tapi juga bahaya yang sangat mengancam perikehidupan ahli waris kita di masa depan. Lebih dari itu, semua pencapaian prestasional di atas akan menjadi kosong atau sia-sia (artifisial) jika sesungguhnya kita meninggalkan sumberdaya yang kosong terkuras dan sebuah bom waktu kekerasan (hukum, sosial, adat, politik, ekonomi, dan sebagainya) bagi anak cucu kita.

Ancaman-ancaman itu menunjukkan fakta: sukses di atas sebenarnya dibangun oleh teori dan praktik yang sangat konservatif. Negeri sebesar dan sekaya ini, dengan pendekatan seperti itu saja, sudah berhasil menciptakan keadaan dan pertumbuhan yang –konon—mengagumkan dunia. Dan fakta berikut lebih menggiriskan, dengan pembiaran bahkan pemberian fasilitas pada para perampok asing, penempatan rakyat banyak sebagai korban –sebagai akibat praktik sistemik politik, hukum dan ekonomi kita—ternyata masih juga menghasilkan pertumbuhan seperti di atas. Apa yang terjadi bila pemerintahan SBY sedikit lebih kreatif dan progresif?

Kebijakan BBM Nonsense

Pertanyaan di atas susah dijawab, bahkan dibayangkan jawabannya. Karena kita kesulitan tolok ukur dan tanda-tanda yang memungkinkan kita mendapatkan jawaban positif seperti kita inginkan. Sebuah contoh: usaha atau kebijakan kabinet SBY dalam membatasi pemakaian BBM bersubsidi. Lima hal membuat usaha/kebijakan itu nonsense dan justru membuktikan konstatasi yang tersebut di paragraf akhir di atas.

Pertama, jelas, jutaan pemilik mobil 1400-an cc (yang menurut Menteri ESDM akan digolongan 1.500 cc dan terkena dampak kebijakan baru di atas) akan memarkir atau menjual mobilnya, karena harus mengeluarkan lebih dari dua kali lipat biaya hanya untuk bahan bakarnya. Mereka akan menjadi cendol dengan kuah keringat asin, asam, bau, berjejalan di moda-moda transportasi publik yang perbaikan komprehensifnya kini tinggal mimpi di ibu kota (dan akan disusul oleh kota-kota besar lainnya).

Kedua, bila sepertiga saja pemilik mobil di Jakarta mengganti moda transportasinya dengan membeli sepeda motor yang begitu mudah dan murah, dapatkah terbayang bencana di waktu dekat ini? Jumlah motor di ibu kota yang telah mencapai 8,5 juta (plus 700-an ribu tiap tahunnya) akan membuat penduduk ibu kota, mulai dari orok yang menangis keluar dari rahim hingga nenek menjelang hayatnya—terhitung punya satu motor. Dan kebodohan pemerintah malah terus merayakan kesuksesan dari ukuran penjualan otomotif di dunia seperti itu.

Ketiga, pergeseran dari premium ke pertamax sudah banyak ditengarai akan menguntungkan pengusaha asing. Tapi staf di Kementerian ESDM bilang ia tidak kuatir, karena pengusaha asing impor, begitupun Pertamina. Namun adekuatkah argumentasi itu jika dalam praktik ternyata rakyat pemilik mobil bergegas menyerahkan keuntungan terbesar pada pengusaha asing, ketimbang BUMN Pertamina? Kenapa hal ini dianggap lumrah dan tidak kuatir, dan menyerah pada adagium-adagium (kapitalisme) pasar bebas? Tak heran banyak sinyalemen, kebijakan ESDM ini sebenarnya kemenangan lobi pengusaha/penguasa asing, mereka yang terus bertahan walau 2-3 tahun sudah merugi dari SPBU-SPBU yang dibangunnya.

Keempat, kenapa untuk penghematan anggaran harus rakyat menjadi korban dengan dihilangkan haknya untuk menggunakan premium? Dan secara koersif dipaksa untuk memberi keuntungan pada pemodal asing? Kemana sebenarnya pemerintah berpihak? Menggunakan bahan bakar jenis apa pun adalah hak yang tidak dapat diprepresi dengan kebijakan, tapi harus dengan kesadaran, seperti peralihan minyak tanah ke gas. Kalau premium menguras subsidi, kenapa bukan subsidi premium itu saja dikurangi dengan menaikkan harganya, Rp 500, Rp 1.000 bahkan Rp 2.500 pun bila rasional mengapa tidak? Yang penting negara wajib menjaga hak rakyat itu dan tidak menjadi komprador dari kepentingan asing.

Akhirnya kelima, semua itu memperlihatkan dengan jelas, bagaimana situasi sulit negeri ini –yang mungkin menjadi dampak dari peristiwa internasional—tidak dapat diatasi secara kreatif, tangguh dan progresif oleh Kabinet SBY. Mereka begitu konservatifnya, mengandalkan cara berpikir teoritis buku-buku teks dan menuruti advis-advis dari asisten atau murid penulis-penulis buku yang tidak lain adalah agen kepentingan pengusaha/penguasa di negerinya.

Ayolah kabinet, berpihaklah para rakyat, bukan sebaliknya. Kreatif dan tough-lah dalam menjalankan terobosan-terobosannya. Apa Anda semua tidak membaca tentang Presiden Argentina, China, Chili, Rusia, Venezuela, yang telah memberi contoh pada dunia, pada sejarah, dan pada anak cucu mereka tentang kekuatan kabinet itu? Jangan kuatir, rakyat tidak terlalu bodoh untuk membaca niat baik dan kemudian mendukungnya.

Radhar Panca Dahana, Budayawan, Sastrawan dan Pekerja Teater.


http://www.metrotvnews.com/front/kolom/2013/02/07/302/Inkreativitas-Kabinet-SBY/metrokolom

0 komentar:

Posting Komentar