Perokok Muda Harus Waspada

Perokok Muda Harus Waspada


Peringatan Komisi Nasional Perlindungan Anak tentang jumlah pecandu rokok belia yang telah berada dalam status “siaga satu” sungguh tidak main-main. Pemerintah semestinya berupaya sungguh-sungguh agar jumlah anak yang menjadi korban rokok tidak terus bertambah. Tak kalah penting, anak-anak yang kadung menjadi pecandu harus segera ditangani. Tanpa upaya itu, negara akan menanggung beban ekonomi dan penyakit akibat rokok di masa depan.

Seriusnya persoalan ini sudah tergambar dari data Komisi bahwa sekarang 21 juta anak menjadi pecandu rokok. Menurut para ahli kesehatan, akibat kecanduan rokok, mereka hampir pasti bakal mengalami gangguan saat dewasa. Gangguan itu beragam dari sekadar gangguan pernapasan, sakit jantung, hingga kanker. Jelas, biaya kesehatan untuk menanganinya akan besar. Ini pun belum termasuk kerugian tak terhitung, misalnya penurunan produktivitas karena pecandu rokok lebih gampang sakit.

Sebenarnya peringatan soal bahaya rokok sudah berulang kali disampaikan Komisi Anak dan para pegiat antirokok. Namun pemerintah tidak meresponsnya dengan serius. Itu terlihat bukan hanya dari jumlah pecandu muda yang terus meningkat, tapi juga dari umur pecandu yang makin belia. Menurut Komisi, 1,9 persen anak mulai merokok pada usia 4 tahun. Kasus terbaru perokok belia ini adalah ILH, 8 tahun, warga Sukabumi, yang merokok sejak umur 4 tahun dan kini menghabiskan dua bungkus sehari.

Agar keadaan tidak semakin buruk, ada beberapa hal yang mendesak dilakukan. Di antaranya, mematangkan dan kemudian mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Ini mendesak karena beberapa pasal dalam draf yang menjadi mandat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan itu pro-industri rokok. Misalnya, ada pasal yang melarang anak di bawah usia 18 tahun membeli atau mengkonsumsi produk tembakau, tapi tak ada pasal yang melarang industri rokok menawarkan produknya. Padahal iklan rokok merupakan alat efektif untuk menjerat perokok belia.

Bila pembatasan beriklan itu belum bisa diberlakukan, harus ada aturan tambahan yang sangat membatasi iklan rokok. Soalnya, aturan berpromosi yang saat ini diterapkan untuk industri rokok jauh dari efektif. Larangan beriklan di televisi pada jam menonton anak-anak, misalnya, disiasati perusahaan rokok dengan memasang iklan besar-besaran di pinggir jalan. Untuk menyiasati larangan mengiklankan produk, mereka secara agresif bermain-main di iklan persepsi, dari petualangan hingga persahabatan.

Pemerintah juga harus mengalokasikan sebagian dana dari cukai rokok untuk membuat iklan-iklan tandingan yang digelar secara masif. Ini penting karena salah satu penyebab orang menjadi pecandu rokok adalah kurangnya informasi tentang bahaya dan aturan merokok. Kampanye itu bisa juga dimaksudkan untuk mengubah perilaku orang tua sehingga, misalnya, tidak lagi merokok terang-terangan di depan anak atau tidak menyuruh anak membelikan rokok.

Semua upaya itu mendesak dilakukan pemerintah karena dampak terburuk rokok pada korbannya baru terlihat setelah beberapa dekade. Ini artinya, generasi mendatanglah yang harus menanggung risikonya.


http://www.tempo.co/read/opiniKT/2012/03/18/1791/Siaga-Satu-Perokok-Belia

0 komentar:

Posting Komentar