Kelangkaan Calon Presiden Berkualitas

Kelangkaan Calon Presiden Berkualitas


Munculnya Rhoma Irama sebagai calon presiden semakin menunjukkan bahwa negara kita mengalami krisis kepemimpinan. Ia memang wajah baru sebagai kandidat presiden, tapi Rhoma--seperti juga calon lain yang namanya lebih dulu beredar--bukanlah jawaban atas karut-marut republik ini.

Kehadiran Rhoma tentu berbeda dengan figur lain, seperti Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie atau Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ia maju lebih karena popularitasnya di dunia musik, sekalipun pernah pula berkecimpung di partai politik. Banyak yang mencemooh ambisi figur yang pernah menyandang julukan Raja Dangdut ini. Masalahnya, orang tak bisa melarangnya, karena konstitusi menjamin semua warga negara mendapat kesempatan sama untuk dipilih.

Hanya, publik tetap harus diingatkan bahwa Rhoma, yang harum namanya dalam dunia dangdut, bukanlah sosok yang hebat di ranah politik. "Kepemimpinan" dalam dangdut sangatlah berbeda dengan kepemimpinan politik yang tengah dikejarnya. Ia pun bukan tokoh yang dianggap sanggup menyelamatkan negara ini dari wabah korupsi, kesenjangan ekonomi, dan amburadulnya penegakan hukum.

Kemunculan Rhoma itu semakin membuat rakyat frustrasi karena stok calon presiden juga jauh dari harapan. Lihatlah deretan nama seperti Megawati, Aburizal Bakrie, Wiranto, dan Prabowo Subianto. Hampir semuanya wajah lama yang sudah muncul pada era Orde Baru. Ini menggambarkan kegagalan partai politik memproduksi pemimpin baru. Padahal partai politik merupakan pilar rekrutmen pemimpin. Partai pula yang berhak menyodorkan calon presiden dalam pemilihan umum.

Kalaupun ada sedikit harapan, datangnya justru dari "tokoh-tokoh alternatif". Figur seperti Mahfud Md., Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Hidayat Nur Wahid dianggap layak sebagai pemimpin. Nama mereka berada pada deretan atas dari hasil survei yang belum lama dilakukan Lembaga Survei Indonesia. Kalla dan Hidayat memang orang partai, tapi sejauh ini belum dielukan oleh kalangan partai sebagai calon presiden atau wakil presiden.

Masalahnya, survei yang melibatkan 223 responden itu digelar terbatas di kalangan elite. Pertanyaan pun seputar pada siapa di antara para tokoh memiliki kemampuan sebagai calon presiden. Ini berarti, hasilnya lebih menggambarkan kualitas dan bukannya elektabilitas calon, kendati di antara figur alternatif itu ada pula yang cukup popular di mata rakyat.

Ketimbang melirik tokoh seperti Rhoma, lebih baik kalangan partai politik mempertimbangkan hasil survei itu. Elite partai tidak perlu pula memelihara keangkuhannya untuk selalu menyodorkan ketua umum mereka sebagai calon presiden. Tidak hanya karena kualitasnya yang pas-pasan, tokoh partai politik juga sama sekali tak menarik bagi masyarakat luas.

Publik sudah lama muak pula dengan perilaku elite partai yang banyak mengajarkan keserakahan dan budaya politik uang kepada anggota, kader, dan masyarakat. Elite partai dengan rendah hati perlu mengakui kesalahan ini, termasuk kelalaian mereka menghadirkan pemimpin yang bermutu.



http://www.tempo.co/read/opiniKT/2012/12/06/1997/Krisis-Calon-Presiden

0 komentar:

Posting Komentar