Tumbangnya Partai-Partai Politik

Tumbangnya Partai-Partai Politik


Terima kasih pada KPK dan media massa selama beberapa tahun belakangan publik melihat satu bentuk paradoks demokrasi, yaitu rangkaian yang tak habis-habisnya skandal korupsi melibatkan anggota partai-partai. Investigasi membutktikan bahwa korupsi ini tidak mungkin tidak diketahui pengurus partai.

Satu fenomena lain juga terungkap dari investigasi adalah bahwa di dalam lembaga DPR sudah tercipta semacam korupsi yang terinstitusionalisasi. Artinya, keterlibatan anggota mudah terdeteksi. Investigasi majalah Tempo bahkan dapat menunjukkan tempat-tempat, modus, dan jumlah presentasi yang biasa diminta.

Bagi golongan terpelajar dan profesional, para politisi memberikan kemarahan tambahan. Pidato dan omongan mereka yang sering banal, seakan memberikan mimpi buruk pada rasionalitas yang dibutuhkan bagi kemajuan peradaban. Apalagi pidato-pidato itu diucapkan dengan penuh gaya di muka kamera. Para pengguna media sosial menumpahkan kekesalan dan kemarahannya dengan berbagai ungkapan cercaan, melecehkan, dan bulan-bulanan lelucon tentang para politisi. 

Jika kita perhatikan maka akan ditemukan dua dunia media yang kontras. Hal ini sungguh menarik seakan masing-masing berada di dunia yang berbeda: satu dunia dimana politisi bergaya di kamera, sedangkan di dunia maya mereka dibuat seperti orang bodoh yang menyebalkan. Namun sesungguhnya cermin yang menjembatani kedua dunia ini bisa dilihat dari hasil berbagai polling yang menunjukkan jatuhnya kredibilitas partai-partai.

Tahun depan Indonesia akan menyelengarakan pemilu keempat setelah reformasi 1998. Apakah rangkaian kekecewaan dan kemarahan banyak anggota masyarakat akan membuat mereka enggan memilih? Sungguh menggoda untuk memperkirakan berapa banyak rakyat yang akan datang ke kotak pemilihan. Adakah yang bisa mereka harapkan dari pesta demokrasi yang amat mahal biayanya dan harus membuang satu hari dari setahun untuk para politisi? 

Menjelang pemilu 2009, penulis mengunjungi beberapa wilayah di Indonesia untuk mengetahui pandangan masyarakat tentang Pemilu. Pada saat itu sudah meluas rasa kekecewaan terhadap para politisi. Namun pada saat itu masih terasa adanya harapan dan keinginan mewujudkan tanggungjawab sebagai warga negara. Mereka merasa harus pergi memilih karena pemimpin ada dengan cara mereka memilih. Sekarang setelah empat tahun skandal menunjukkan banyak politisi merampok dana publik, tidakkah gambaran “pemimpin” telah menjadi sesuatu yang absurd? 

Menurut perkiraan penulis, jika tidak terjadi sesuatu yang istimewa, presentase rakyat yang akan memilih akan sangat jatuh paling tidak dua puluh persen. Artinya jumlah pemilih bisa di bawah 50 persen. Siapakah mereka yang masih memunyai kecenderungan memilih. Pertama, pemilih yang mempunyai ikatan sosial dan emosional dengan partai tertentu. Kedua, hasil mobilisasi jaringan sosial. Ketiga, politik uang meskipun jumlahnya tidak besar. Keempat, pemilih pemula yang ingin mencoba identitas barunya. Namun golongan yang ini tergantung pada media sosialisasi yang tersedia. Kelima, golongan yang saya terminologikan –namun berdasarkan penjelasan seorang ahli ilmu politik dari AS – “desperately undemocratic citizens” yang memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis.

Apakah masih ada jalan bagi partai untuk menjaring suara? Selama bertahun-tahun partai dan politisi mengandalkan media pencitraan. Maka muncul pulalah perusahaan konsultan yang pekerjaannya memoles dan menggiring citra pada kandidat tertentu. Pemilu menjadi bisnis yang mahal karena mengandalkan jangkauan (coverage) dan juga karena konstruksi pikiran yang salah tentang efektifitas konsultan-konsultan ini, mengikuti apa ang dijelaskan sebagai prinsip bangunan kebodohan oleh Bextel (Encyclopaedia of Stupidity, 2003). Namun media yang digunakan untuk pencitraan semakin rontok kegunaannya. Skandal lebih menguasai penilaian rakyat. Cara-cara lama membangun pencitraan tidak bisa melawan ini.

Politisi juga tidak akan berhasil menjual ide-ide kerakyatan karena selama ini sudah sangat gagal dibuktikan. Di waktu yang lalu partai ramai-ramai membuat semacam buku putih yang berisi semacam daftar program-program dengan tujuan yang besar-besar. Jika benar-benar dibaca akan kelihatan bahwa apa yang ditulis tidak punya dasar institusional dan organisasional yang jelas. Semua dikatakan seakan di ruang hampa. Dan memang terbukti bahwa institusi dan organisasi publik kita semakin kacau.

Model-model mobilisasi yang dilakukan partai-partai sampai saat ini terlihat sungguh tidak inovatif. Bagi banyak orang, partai menjadi tempat bagi para petualang, orang yang berharap mendapat keuntungan materi dan tempat beraktifitas dan memberikan sarang (nest) untuk mendapat identitas para setengah pengangguran. Citra partai menjadi lebih buruk lagi dengan tindakan putus asanya memanggil para selebritas untuk menjaring suara. 

Tidak diperlukan pendidikan yang tinggi untuk memahami bahwa pekerjaan sebagai wakil rakyat itu membutuhkan pengalaman, kecerdasan dan kematangan. Jikapun ada yang berusaha beragumen bahwa artispun sanggup, kemungkinan argumennya dikacaukan antara konstruksi realitas politik dengan yang substansi. 

Bagaimana caranya partai menyelamatkan diri untuk mendapatkan pemilih? Apa yang bisa dilakukan dalam waktu satu tahun? Pengalaman di waktu lalu, partai mendapat suara karena pencitraan atau kerja nyata lapangan. Namun yang pertama tidak begitu efektif lagi. Sedangkan yang kedua, hanya beberapa partai yang mempunyai basis sosial di tingkat masyarakat. Mungkin hanya dua partai yang memiliki organisasi di tingkat akar rumput yang bergerak bukan semata karena mobilisasi. Bagi partai yang lain, waktu tidak memungkinkan lagi membangun strategi ini – selain juga tidak mau dan mampu. 

Jalan yang masih tersedia adalah memilih calon yang memiliki track record baik yang bisa dibuktikan. Partai harus menggunakan para calon legislatif seperti sebagai signal bahwa sedang terjadi pembaharuan dalam partai. Calon-calon dipromosikan akan menjalankan tugas wakil rakyatnya dengan baik. Namun strategi ini pasti akan mendapatkan tantangan kuat dari elemen internal yang terbiasa hidup dari berbagai upeti dan dana publik. 

Meuthia Ganie-Rochman, sosiolog organisasi dan mengajar di Universitas Indonesia.


http://www.metrotvnews.com/front/kolom/2013/02/04/301/Hancurnya-Partai-partai/metrokolom

0 komentar:

Posting Komentar