Agresi Atau Sensasi Konflik Gaza

Agresi Atau Sensasi Konflik Gaza


Melalui media internasional dan atas jasa Mesir sebagai mediator, Israel akhirnya mengumumkan gencantan senjata. Pengumuman ini sekaligus mengakhiri serangan yang sudah selama seminggu terakhir ini meluluhlantakan Gaza. Di sisi lain, tentu saja serangan yang maha dahsyat ini untuk sementara akan mengakhiri penderitaan penduduk Gaza yang senantiasa hidup dalam keadaan mencekam.

Saya mengatakan sementara karena secara pribadi, saya tidak mempercayai niatan Israel untuk berdamai. Pengumuman gencatan senjata ini tentu saja disambut sahabat sejati Israel, Amerika Serikat dan bahkan mungkin dunia. Tetapi sikap ini hanyalah tebar pesona belaka dan saya memaknainya sebagai waktu istirahat bagi Israel dan tentaranya untuk kembali mengumpulkan tenaga untuk (siapa tahu, namun mudah-mudahan tidak terjadi) penyerangan berikutnya.

Seperti biasa, dalam jumpa pers-nya pihak Israel menyalahkan Palestina dan mengharapkan agar Palestina menghargai upaya gencatan senjata ini. Tetapi saya tidak melihat langkah kongkret seperti apa yang akan dilakukan Israel (selain menghentikan penyerangan tentunya) untuk menjaga situasi ini. Dari pengalaman yang lalu, negara ini merasa berada di atas angin apalagi di bawah lindungan AS yang mendukung negara ini tanpa syarat, meski pada zaman presiden Obama, keberpihakan negara paman Sam sedikit berkurang.

Saya mengatakan sedikit, karena pada saat pidato di Myanmar, presiden Obama sendiri berujar bahwa AS mendukung penyerangan Israel sebagai upaya membela diri dari serangan roket tentara Hamas. Lucunya, dalam kesempatan lain, Obama juga mengadakan himbauan agar Kamboja secepatnya menyelesaikan masalah hak asasi manusia. Apalah artinya hak asasi manusia, karena hampir di saat yang bersamaan Obama tidak melihat rakyat Palestina yang juga laik mempunyai hak hidup dalam perdamaian. Dan apa yang dilakukan Israel juga tidak mencerminkan rasa kemanusiaan.

Di sisi lain, tentu saja saya mencoba melihat persoalan dari dua sudut pandang. Selama ini Israel selalu berdalih bahwa serangan ke Gaza adalah upaya untuk membalas serangan roket Hamas. Sepintas tentu saja, saya mengerti jika Israel risih juga dengan serangan roket yang juga menimpa warga sipil negara tersebut. Namun, yang saya tidak habis pikir, ada ketidakseimbangan kekuatan antara serangan roket Hamas, yang mungkin mencederai beberapa orang saja dan mengakibatkan kerugian materil yang sangat kecil bukannya dibalas dengan kekuatan seimbang, tetapi dibalas dengan serangan yang membabi buta dalam skala besar dan nyaris seperti perang. Israel memiliki militer yang kuat dengan peralatan super canggih, sementara dari pihak Palestina, mereka hanya punya nyali untuk berjuang dengan kekuataan dan peralatan senjata seadanya.

Lebih dari itu, jika memang tujuan Israel menyerang atau melumpuhkan Hamas, mereka harusnya melakukan serangan yang terarah dan dengan strategi jitu pula, dengan sasaran yang jelas. Pada kenyataannya serangan ini juga mencederai bahkan menewaskan warga sipil termasuk wanita dan anak-anak. Saya tidak pernah mendengar bahwa Israel mengupayakan pengobatan bagi mereka yang luka misalnya atau evakuasi warga sipil ke tempat yang lebih aman.

Dalam penyerangan kali ini, tidak ada yang luar biasa. Adanya kekuatan yang tidak berimbang serta dukungan yang tidak berimbang pula, membuat situasi ini semakin runyam. Sejauh ini tidak ada satu negarapun yang melakukan tindakan kongkret untuk mengupayakan perdamaian antara dua negara ini. Lihat saja pada penyerangan yang baru berlalu, dunia hanya bisa menonton. Di dunia barat, tidak semua negara memang mendukung Israel, tetapi sikap ini sikap yang sangat mengambang, karena mereka hanya bisa melakukan himbauan tetapi tidak ada upaya konkret untuk mengisolasi Israel, apalagi sebagian besar negara barat, terutama negara Eropa memiliki dosa sejarah di masa lalu, yang ternyata dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Israel untuk memantapkan propagandanya.

Di lain pihak, negara-negara Arab juga masih berkutat dalam cerita lama. Tidak ada yang bergeming dan tidak ada yang perduli, mereka hanya memikirkan diri sendiri dan saya tidak melihat adanya upaya dari negara-negara Arab untuk menjadi mediator utama yang bersifat permanen dalam perundingan untuk menyelesaikan konflik ini. Tidak sedikit negara Arab yang merapat menjadi sekutu utama Amerika Serikat, sayangnya mereka tidak mampu menjadikan posisi ini sebagai posisi strategis yang dapat mereka gunakan untuk mengupayakan perdamaian. Sementara negara lainnya, yang mungkin tidak memiliki hubungan mesra dengan Amerika Serikat bisa saja melakukan tindakan lainnya, misalnya dengan cara mengisolasi Israel secara ekonomi. Jika kita lihat secara global, posisi Israel sebenarnya berada di tengah-tengah negara Arab, dengan kata lain, negara-negara Arab ini seharusnya mampu memberikan tekanan agar Israel berhenti dengan agresinya. Karena jika saja negara-negara Arab ini menghentikan impornya, bukan tidak mungkin efek ini akan dirasakan langsung Israel dan perlahan-lahan negara ini akan menyadari betapa pentingnya berhubungan baik dengan negara tetangga mereka, termasuk Palestina.

Terlepas dari blok negara Arab dan barat, ada satu negara yang membuat saja kagum. Apalagi kalau bukan negara kita tercinta, Indonesia. Secara umum memang negara kita tidak memainkan peranan besar dalam upaya perdamaian di timur tengah, namun bukan berarti Indonesia tidak mendukung Palestina. Secara politik Indonesia mengakui kedaulatan Palestina, hal ini antara lain dibuktikan dengan kehadiran kedutaan besar Palestina di Jakarta. Selain itu, walaupun tidak terlalu disoroti media internasional, begitu banyak saudara-saudara setanah air kita yang berpartisipasi berjuang di Palestina. Bukan dengan mengangkat senjata atau menjadi jihadist, tetapi melalui misi kemanusiaan, seperti misalnya membangun sekolah dan rumah sakit. Resiko yang mereka hadapi tidak kecil, tetapi bersama relawan lainnya dari seluruh penjuru dunia, mereka mampu membuktikan dukungan mereka dengan tindakan nyata dan pastinya dihargai seluruh rakyat Palestina.

Pertanyaan berikutnya, akankah perdamaian terwujud di bumi Palestina? Tidak ada yang dapat memastikannya, kecuali Yang Maha Kuasa. Namun perdamaian ini tentu saja bukan sesuatu yang tidak mungkin. Memang diperlukan waktu yang tidak sedikit serta niatan baik dan kesungguhan dari semua pihak untuk mewujudkan perdamaian sejati dan lebih permanen. Salah satu cara yang paling sederhana tentunya, baik dari pihak Israel maupun Palestina diharapkan ada kemauan yang tulus untuk hidup berdampingan. Lebih kongkret lagi, Israel harus menghentikan kegiatan pembangunan pemukiman liar yang mencaplok wilayah Palestina. Dengan kata lain, Israel harus berjiwa besar dengan menarik diri dan mulai menghargai batas-batas wilayah masing-masing negara seperti yang disepakati pada tahun 1967. Sementara dari pihak Palestina, terutama Hamas. Mereka harus berpikir jauh lebih bijaksana dan lebih terfokus lagi. Selama ini yang mereka lakukan terlalu radikal, mereka lebih mengandalkan kekuatan senjata daripada kekuatan di meja perundingan. Tanpa mereka sadari sebenarnya, apa yang mereka lakukan baik secara langsung maupun tidak langsung membahayakan kehidupan warga sipil terutama di jalur Gaza. Sementara dari dunia internasional, mereka harus bersikap seobyektif mungkin dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengupayakan kompromi. Dalam sebuah kompromi, tentunya tidak ada pihak yang memperoleh 100agian yang baik dan tidak ada pihak yang memperoleh 100agian yang tidak enak. Masing-masing pihak memperoleh bagian sesuai porsinya, ada plus dan ada minusnya.

Akhirnya, saya yakin kita semua sepakat, bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang rela hidup terjajah. Dalam era yang sudah modern seperti sekarang ini, sudah bukan zamannya lagi suatu bangsa menjajah atau mencaplok negara lain. Kita berharap bahwa Perserikatan Bangsa Bangsa dapat lebih berperan aktif lagi daripada hanya menjadi penonton di tribun kehormatan.


http://senyumdunia1708.blogdetik.com/2012/11/22/konflik-gaza-antara-agressi-dan-sensasi/

0 komentar:

Posting Komentar