Mencari Pemimpin

Mencari Pemimpin


Mengapa kepemimpinan itu penting? Pertanyaan ini sudah sangat lama berusaha dijawab oleh manusia. Selama berabad-abad, para filosof dan ilmuwan sosial memperdebatkan peran pemimpin. Dalam karyanya, Republik, Plato—filosof yang hidup pada abad ke-4 SM—berkata bahwa kota yang ideal harus mempunyai sistem untuk memilih pemimpinnya yang memungkinkan siapapun pemimpinnya, ia dapat digantikan.

Di zaman modern, isu kepemimpinan dibahas dari banyak segi. Para ilmuwan politik berbicara perihal suksesi dan pertarungan kekuatan politik di antara calon-calon pemimpin. Ahli-ahli manajemen mengkaji segi-segi dan gaya kepemimpinan. Para psikolog mempelajari karakter pemimpin. Banyak studi, riset, dan buku yang ditulis mengenai topik ini.

Buku mutakhir yang berbicara tentang kepemimpinan, di antaranya, karya Gautam Mukunda, Indispensable: Why Leaders Really Matter. Dalam buku yang terbit September ini, profesor di Harvard Business School tersebut berusaha mengidentifikasi dan menganalisis pola-pola tersembunyi dalam karier sejumlah pemimpin, seperti Abraham Lincoln dan Winston Churchill. Indispensable menyingkapkan bagaimana, kapan, dan di mana satu orang individu pada tempat dan waktu yang tepat mampu menyelamatkan atau menghancurkan organisasi yang mereka pimpin, dan bahkan mengubah jalannya sejarah.

Tampilnya Lincoln maupun Churchill betul-betul di luar dugaan. Kedua tokoh ini, satu di AS dan satu lagi di Inggris, sebelumnya tidak dilirik oleh masyarakat sebagai calon yang layak untuk memimpin mereka. Namun situasi krisis memaksa masyarakat berpaling kepada kedua tokoh ini. Dari studinya, Mukunda berpendapat bahwa lingkungan eksternal menjadikan kehadiran Lincoln (1860) dan Churchill (1940) pada waktu itu sebagai keharusan; sejenis ‘keharusan historis’.

Churchill diangkat sebagai perdana menteri Inggris ketika negara ini menghadapi situasi yang sangat kacau. Juni 1940, tentara Jerman berhasil mengusir tentara Inggris dari benua Eropa. AS tak siap membantu, jadi Inggris harus berjuang sendiri. Di saat itulah, Churchill yang ketika itu sudah berusia 66 tahun diminta memimpin Inggris. Waktu itu, menurut guru manajemen mendiang Peter Drucker, Inggris memerlukan orang yang tegas, tidak takut terhadap situasi krisis, dan kreatif dalam menemukan jalan keluar dari situasi itu.

Apakah itu berarti kepemimpinan tak bisa diajarkan, sebagaimana diupayakan melalui berbagai kursus-kursus kepemimpinan? Warren Bennis, dalam bukunya, On Becoming a Leader, menulis bahwa kursus semacam ini hanya mengajarkan keahlian. Padahal, yang lebih penting dari itu, kata Warren, ialah mengembangkan watak dan visi, sebab itulah cara para pemimpin menciptakan dirinya sendiri. Kepemimpinan pada akhirnya perkara karakter, dan inilah yang tidak membuat seorang ketua organisasi, kepala daerah, kepala departemen otomatis seorang pemimpin.

Pemimpin, kata Drucker, selain harus memiliki kemampuan dan kemauan untuk lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara, dia juga harus menyadari bahwa alangkah tidak penting dirinya bila dibandingkan dengan tugas yang ia emban. “Pemimpin harus menempatkan dirinya sendiri menjadi bawahan tugasnya,” ujar Drucker.

Banyak bangsa yang memiliki pemimpin seperti itu. Lincoln di Amerika, Churchill di Inggris, Nehru di India, Hatta di Indonesia, Mandela di Afrika Selatan. Mereka mengajak bangsanya, bukan memberi janji-janji. Inilah yang dikatakan Churchill tatkala diangkat sebagai perdana menteri: “Tidak ada yang bisa saya tawarkan kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat.”

oleh : http://blog.tempointeraktif.com/author/dian/


http://blog.tempointeraktif.com/uncategorized/mencari-pemimpin/

0 komentar:

Posting Komentar