Ekonomi Dunia Tersandera Dua Risiko Besar

Ekonomi Dunia Tersandera Dua Risiko Besar


“I can calculate the movement of the stars, but not the madness of men.”

Isaac Newton, bapak Fisika Modern yang juga penemu teori gravitasi mengucapkan kalimat di atas tiga abad yang lalu. Ia tak habis pikir bagaimana investasinya di saham South Sea bisa begitu saja lenyap ditelan “gravitasi ketakutan investor.” Ironis memang, ahli matematika dan fisika legendaris pun kehilangan akal dalam memprediksi “kegilaan” di pasar finansial.

Fenomena “saham gorengan” South Sea bisa dianggap sebagai gelembung finansial kedua yang terjadi di era modern, setelah seabad sebelumnya terjadi gelembung harga bunga Tulip (Tulip Mania) di Belanda.

Seperti gelembung-gelembung finansial lainnya, investor awalnya optimis terhadap prospek South Sea yang didirikan pemerintah Inggris tahun 1711 guna mendanai perang melawan Perancis. Arus pendapatan tampak akan sangat kuat karena hak monopoli yang dimilikinya dalam berdagang dengan Amerika. Namun, setelah membumbung berkali-kali lipat, mimpi investor untuk mendulang untung besar pun berakhir tragis seiring dengan anjloknya harga saham South Sea.

Cerita South Sea ternyata terus berlanjut hingga ke abad-21, dimana gelembung-gelembung finansial kian meraksasa dengan perilaku “greed & fear” investor yang makin sukar diprediksi. Contoh yang termutakhir adalah krisis kredit perumahan sub-prime (2008) dan krisis utang pemerintah Eropa (2010-?) yang sampai sekarang belum jelas ujung ceritanya.

Ketidakpastian ekonomi

Berbagai cara dilakukan manusia untuk mengendalikan risiko. Memasuki masa pencerahan di abad-16 (renaissance), konsep dan pengelolaan risiko mulai dikenal dan menjadi salah satu penanda batas, antara zaman klasik dan modern. Sejak saat itu, kita mulai dapat mensimulasikan masa depan dengan menggunakan konsep probabilitas. Jadi bukan lagi bergantung pada paranormal atau dukun. Perkembangan ini membuka jalan bagi lompatan revolusioner di berbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu finansial dan asuransi.

Namun, perkembangan ilmu finansial dan pengertian tentang konsep probabilitas tetap saja tak menjamin keakuratan suatu prediksi. Bangunan model ekonometrika dan bahkan kombinasinya dengan berbagai ilmu seperti matematika, psikologi dan fisika kuantum seringkali alpa dalam menangkap tren ekonomi yang sedang berkembang.

Salah satunya mungkin disebabkan oleh kecendrungan model yang hanya mengekstrapolasi tren data terkini untuk memprediksi masa depan (model linier). Prediksi dengan menggunakan model linier sangat mudah dilakukan, namun kondisi lingkungan yang hendak diprediksi sejatinya sangat kompleks dan bersifat non-linier (peran ekspektasi dan persepsi sebenarnya lebih dominan, -http://davidsumual.blog.kontan.co.id/2011/02/26/cerita-di-balik-gejolak-harga-pangan).

Hal ini secara pahit dibuktikan oleh peraih nobel Robert Merton dan Myron Scholes yang membangun model matematika canggih untuk memvaluasi transaksi arbitrage di pasar opsi. Model tersebut dipakai perusahaan pengelola aset Long Term Capital Management (LTCM) yang didirikan notabene oleh Merton dan Scholes sendiri pada tahun 1993.

Akibat kesalahan memprediksi arah yield obligasi Russia, LTCM akhirnya bangkrut pada tahun 2000. Sama juga dengan kasus kejatuhan harga rumah AS baru-baru ini, kalibrasi komputer padahal nyata-nyata menunjukkan bahwa probabilitas terjadinya kedua peristiwa tersebut sangatlah kecil; hanya mungkin terjadi sekali dalam jutaan tahun.

Aneh memang, sejalan dengan menjamurnya hedge fund yang dapat melakukan transaksi tanpa batas dan aturan, kondisi ekonomi dan finansial dunia dalam dua dekade terakhir kian tak menentu. Peristiwa finansial langka yang tak terprediksi oleh model (sering disebut fat tailed event atau black swan event) kerap terjadi. Padahal secara teknis statistik, “tail risk,” yakni deviasi risiko yang lebih besar dari ekspektasi semula ( > 3 kali standar deviasi) probabilitas kejadiannya sangatlah kecil.

Namun ironisnya, banyak pula hedge fund yang memanfaatkan tren ini dengan menciptakan produk-produk baru. Mereka menciptakan sejumlah produk derivatif (tail risk products) yang kinerjanya buruk ketika kondisi pasar normal, namun akan meroket ketika pasar bergejolak.

Sebagai contoh, beberapa hedge fund seperti PIMCO, Blackrock dan Universa Investment menciptakan produk indeks ekuitas, credit default swap yang kinerjanya cenderung melempem ketika pasar normal, namun melonjak drastis ketika pasar anjlok atau bergejolak.

Risiko Eropa

Produk-produk tail risk tampaknya akan kian populer seiring perkembangan ekonomi dunia yang akhir-akhir ini penuh ketidakpastian. Dalam skala global, ada dua ketidakpastian utama yang bisa berpotensi menjadi “the mother of black swans,” yakni kemungkinan mengganasnya krisis surat utang Eropa dan krisis nuklir Iran.

Saya melihat sejauh ini persoalan utang Eropa tiap kali hanya diselesaikan dengan injeksi likuiditas oleh bank sentral. Tarik-menarik politik masih mengemuka dalam negosiasi penyelesaian persoalan utang negara-negara Eropa. Persoalan reformasi kelembagaan, terutama soal kelangsungan fiskal (fiscal sustainability) dan koordinasi kebijakan fiskal Eropa ke depan belum tuntas terselesaikan.

Dalam jangka menengah, pengetatan fiskal (fiscal austerity) yang dilakukan beberapa negara Eropa juga berisiko memperlambat laju ekonomi kawasan tersebut. Sebab itu, saya memperkirakan kawasan Eropa masih perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam 5 tahun ke depan. Selama proses penyesuaian tersebut berlangsung, Uni Eropa (terutama negara-negara yang mengalami persoalan fiskal) tampaknya masih akan mengalami periode pertumbuhan rendah dengan outlook peringkat utang yang negatif.

Seiring dengan diturunkannya peringkat utang Perancis dan negara-negara selatan Eropa,  investor pun mulai mengalihkan investasinya ke produk-produk safe heaven. Contohnya,  obligasi pemerintah Jerman, Austria, Norwegia, Swedia, Belanda dan seterusnya.

Tren ini sebenarnya berisiko. Dampak negatif dari strategi yang banyak diterapkan perusahaan asuransi, pengelolan investasi, bank dan dana pensiun ini adalah terkonsentrasinya portfolio investor ke sejumlah kecil negara. Ini secara sistemik akan menambah ekspos risiko ekonomi global, karena sesuatu yang tak diharapkan bisa saja terjadi di negara-negara tersebut.

Di sisi lain, keinginan otoritas Eropa dan AS untuk menstabilisasi sistem sejatinya dapat mendorong ekonomi semakin sulit diprediksi. Teori angsa hitam (black swan) menyatakan bahwa suatu sistem yang secara artifisial berusaha dikontrol atau direstriksi akan cenderung mencetuskan peristiwa mengejutkan yang sukar diprediksi (black swan).

Menurut teori tersebut, jika krisis ekonomi ingin cepat diakhiri, maka pemerintah harus meminimumkan intervensi sehingga proses penyesuaian pasar dapat terjadi. Solusi ini mirip dengan teori Schumpeter yang menafikan adanya intervensi pemerintah sehingga proses “destruksi kreatif” pun dapat berlangsung tanpa hambatan.

Krisis Iran

Selain risiko krisis Eropa, satu lagi risiko sistemik yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan meningkatnya ketegangan di Selat Hormuz. Seperti diberitakan oleh koran Telegraph terbitan  12 Januari lalu, AS telah mengirim kapal induknya yang kedua, USS Carl Vinson ke kawasan tersebut.

Selat Hormuz sangat vital bagi perekonomian dunia karena merupakan jalur penting untuk 20% perdagangan minyak dunia. Jika impor minyak Iran diembargo dan Iran memblokade Selat Hormuz, bukan tidak mungkin harga minyak bakal meroket dua kali lipat dari harga saat ini ke level US$200 per barel sehingga memicu resesi dunia.

Kondisi ini tentunya dapat memicu terjadinya “fat tailed event” yang sukar diprediksi arahnya. Peristiwa mengejutkan ini bukan dipicu oleh perang Iran vs. negara-negara barat yang dikhawatirkan akan pecah, melainkan kemungkinan terjadinya perang skala besar –perang dunia III, -lihat http://desumualseconotes.blogspot.com/2012/01/minyak-tak-mustahil-ke-us200-per-barel.html.

Bagi Indonesia yang sudah menjadi net importer minyak, perkembangan tersebut tentunya sangat membahayakan karena kenaikan harga minyak tentunya akan memicu lonjakan subsidi energi.

Kebijakan lindung nilai (hedging) harga minyak mungkin bisa dijadikan salah satu solusi di tengah kemungkinan lonjakan defisit fiskal akibat kenaikan harga minyak dunia. Ini bisa menjadi solusi antara sebelum membereskan persoalan laten subsidi energi yang memang salah sasaran. Menurut pandangan saya, bersiap untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dan bukan bersikap reaktif adalah keputusan yang paling bijak.

David Sumual
 

http://davidsumual.blog.kontan.co.id/2012/02/01/ekonomi-dunia-tersandera-dua-risiko-besar/

0 komentar:

Posting Komentar