Ancaman Konsumerisme

Ancaman Konsumerisme


Sekelompok ABG, sebagian masih berseragam putih biru, bergerombol lesehan di pinggiran gerai "7-Eleven" di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Melepas tawa, sesekali mereka menyeruput "Slurpee", minuman soda setengah beku dan melahap hotdog Big Bite di tengah udara gerah dan suara bising oleh lalu lalang kendaraan di sekitar situ.

Gerai 7-Eleven yang kini menjamur di kota-kota besar, termasuk sejumlah lokasi strategis di ibukota, nyaris tak pernah sepi pengunjung. Dari para ABG sampai mahasiswa, silih berganti mengisi kursi dengan meja bundar bertenda payung.

Bahkan ketika kursi sudah penuh pun anak-anak muda itu rela lesehan di teras, demi segelas flavored frozen drink, sepotong hotdog, atau keripik kentang yang bisa dicampuri keju cair berwarna kuning menggoda.

Gerai asal Amerika ini berhasil "menyihir" ribuan remaja kota besar untuk mengecap gaya hidup modern hang-out alias nongkrong.

Sambil nongkrong, mereka pamer gadget terbaru, dari ponsel pintar iPhone sampai Blackberry.

Cukup menyentuhkan jemari pada layar, mereka sudah bisa langsung berselancar di dunia maya, kemudian yang lain sibuk membalas atau mengomentari status "gebetan" mereka di Twitter atau Facebook lengkap dengan foto "gokil" teman-teman sebaya.

Selain gerai 7-eleven, kafe-kafe di pusat perbelanjaan kerap juga menjadi tempat berkumpul berbagi kalangan, termasuk anak baru gede berusia belasan tahun itu.

Gerai kopi warlaba dari luar negeri, kini bukan hanya didominasi pebisnis dan eksekutif, anak-anak baru gede dari kelompok menengah atas pun kerap memilih cafe untuk hangout, demi melepas lelah setelah keliling mal sambil ngegame "Angry Bird" di smartphone-nya.

Vania (13) misalnya. Baginya, nongkrong itu harus, minimal satu bulan sekali, siapa lagi kalau bukan dengan mantan sahabat-sahabatnya di sekolah dasar dulu.

"Kita udah kayak soulmate jadi meski sekarang sudah berbeda-beda sekolah tetapi minimal satu bulan sekali kita ketemuan untuk nonton terus lanjut nongkrong di cafe", ujarnya.

Vania dan sahabat-sahabatnya membentuk kelompok "Lol-Laugh out Loud", artinya tertawa keras-keras alias "ngakak".

"Lol itu menggambarkan kita-kita yang doyan ketawa ngakak kalau udah ketemu, jingkrak-jingkrak, foto bareng. Pokoknya yang seru-seru," ujar Vera (14),  salah satu anggota kelompok ini.

Dicekoki iklan

Tempat favorit hangout mereka tergantung situasi kantong juga.

"Kalau bulan tua biasanya nggak enak minta uang banyak-banyak sama mama papa. Jadi pilih di 7-Eleven aja, sambil ngobrol berasa nyaman karena isinya anak-anak sebaya kita. lagian bisa curi ide model baju, asesoris dari orang-rang yang dateng," ujar Dwita yang paling kenes di grup Lol.

Lain Vania, lain Brian.

Lokasi sekolahnya yang berdekatan dengan gerai 7-Eleven dan pusat perbelanjaan memberi keuntungan tersendiri karena sepulang dari sekolah sambil menunggu jemputan, Brian dan kawan-kawannya menyerbu "game zone" atau sekadar ngobrol-ngobrol "nggak karuan".

"Sering juga waktu kosong sambil menunggu waktu les sore, dipakai untuk nonton. Apalagi kalau hari biasa karcis bioskop murah hanya Rp15 ribu-Rp25 ribu tergantung filmnya", ujarnya.

Karena gemar kumpul dengan kawan-kawannya itu, Brian pun mulai mengenal rokok.

"Nggak sering-sering sih, cuma pingin tahu aja. Lebih enak kalau ingin merasakan sensasi merokok dengan shisha (rokok khas Arab yang disajikan dalam bentuk tabung) pergi ke kafe yang menyediakan Shisha," katanya lagi.

Vania, Brian dan kawan-kawannya mewakili potret anak muda zaman sekarang, khususnya di kota-kota besar yang haus pergaulan modern demi tidak disebut ketinggalan zaman.  Di sisi lain,  mereka  sudah   dirasuki pola hidup  konsumeris.

Psikolog Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto menyebut pola hidup konsumerisme telah terbentuk pada anak muda, bahkan sejak usia dini.

"Sejak mereka mulai berangkat remaja sudah dicekoki oleh berbagai iklan, promosi soal gaul dan tidak gaul kalau tidak menggunakan merek ini atau itu. Ditambah tayangan film sinetron di televisi mengumbar kekayaan dan gaya hidup mewah mendorong anak-anak untuk meniru," kata Kak Seto.

Menurut Seto, itulah salah satu keberhasilan media khususnya televisi dalam menanamkan `citra" tertentu pada produk sehingga kalau tidak pakai produk A, maka disebutlah norak.

Konsekuensinya, ketika mereka hangout alias bergaul, anak harus mempunyai uang cukup, melengkapi dirinya dengan asesoris seperti telepon seluler pintar dan sebagainya.

Ini tentu tak terlalu baik bagi pembangunan generasi. Seto menilai ini mesti dikendalikan.  Dan Seto melihat kembali kepada peran keluarga khususnya orang tua, adalah jalan paling ideal.

"Sekolah itu tempat pengajaran, sedangkan tempat yang ideal untuk pendidikan adalah keluarga. Ada komunikasi rutin dalam keluarga antara orang tua dan anak-anak. Ada kesempatan untuk saling bertukar pikiran dan membagi masalah, sehingga anak tidak kehilangan arah karena rumah menjadi tempat yang diharapkan untuk berlindung".

Kembali ke keluarga

Sejauh ini konsumerisme memang berpengaruh buruk pada anak, terlebih tak semua remaja memiliki uang saku, fasilitas komunikasi dan transportasi sebanyak yang dipunyai Vania, Brian dan kawan-kawannya sehingga mereka bisa hang out sesukanya.

Beberapa kasus bunuh diri atau kejahatan yang melibatkan anak dan remaja belakangan ini ironisnya disebabkan oleh kebutuhan mereka akan barang-barang mewah seperti Blackberry.

Setelah kasus penusukan kawan sekelas yang dilakukan seorang siswa SD di Depok baru-baru ini, seorang pelajar SMP bunuh diri karena orangtuanya tak membelikan dia  BlackBerry yang dimintanya.

Mengapa mereka bisa berbuat senekad itu?

Rahmitha Soendjojo, psikologi dari Universitas Negeri Jakarta, mempunyai jawabannya bahwa kasus-kasus kejahatan yang dilakukan anak dan remaja didorong oleh keinginan mereka untuk diterima lingkungan sebayanya.

"Mereka membutuhkan sesuatu yang berbeda atau sama dengan yang dimiliki oleh teman-temannya, misalnya telepon pintar agar dapat tetap berada pada kelompoknya".

Remaja sekarang sering memenuhi mal-mal. Alasannya bisa sederhanas sekali dan tak harus dengan mengeluarkan uang banyak, misalanya hanya demi menonton konser musik gratis yang diselenggarakan stasiun televisi.

Rahmitha menilai kebiasaan nongkrong pada jam-jam seharusnya anak di sekolah atau di rumah untuk beristirahat atau belajar ini   akan mempengaruhi kondisi psikis dan psikologis anak.

Lebih dari  itu,  semua kenikmatan itu  tentu diperoleh dengan harus mengeluarkan uang, kendati mungkin sedikit.

Beberapa remaja yang kreatif menawarkan diri menjadi pemandu sorak di acara pentas musik televisi, seperti dilakukan Mira dengan beberapa kawannya. "Lumayan dapat Rp50 ribu untuk sekali datang baik di studio tv ataupun di luar ruangan seperti di mal-mal," kata  Mira.

Tapi Mira harus membayar mahal karena saking seringnya mengikuti kelompoknya menjadi pemandu sorak untuk pertunjukan musik di televisi, ia menjadi sering bolos sekolah. Guru pun sudah memberikan dia surat peringatan.

Mira mungkin masih lebih baik ketimbang remaja-remaja yang bunuh diri atau berbuat kriminal hanya demi mengikuti konsumerisme yang datang dari dorongan teman sebaya atau kelompoknya itu.  Tapi tetaplah orangtua tak boleh berdiam diri menghadapi serangan dampak negatif pola  hidup konsumeristis ini.

Seto Mulyadi dan Rahmitha menilai semua itu mesti dilawan melalui keluarga dan orang tua.

"Memberikan motivasi tentang masa depan, komunikasi rutin dan ngobrol dari hati ke hati, akan menjadi solusi terbaik mencegah pengaruh negatif budaya konsumerisme dan pergaulan kurang baik pada anak-anak remaja"," kata  Rahmitha.


http://www.antaranews.com/berita/301130/di-bawah-ancaman-konsumerisme

0 komentar:

Posting Komentar